Selasa, 24 April 2012

Putusan Harus Sesuai MoU dan UUPA. Demo Kawal Rapat Pilkada

Demo Kawal Rapat Pilkada

Rabu, 3 Agustus 2011 10:34 WIB
JAKARTA - Hari ini, sekitar pukul 14.00 WIB, akan berlangsung rapat koordinasi tingkat pusat membahas Pilkada Aceh di Kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Bersamaan dengan itu, sebelas elemen masyarakat Aceh yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Damai (Garda) Penyelamatan MoU Helsinki menggelar demonstrasi damai untuk menyelamatkan MoU Helsinki dan UUPA.

Aksi yang dimulai sejak pagi dan diklaim melibatkan 500 orang itu digelar untuk mengawal dan ingin memastikan bahwa apa pun keputusan yang diambil dalam rapat koordinasi tersebut harus sejalan dengan semangat MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Penggerak aksi berpendapat, MoU Helsinki dan UUPA telah menjadi perekat damai di Aceh. “Maka kami berkewajiban mengamankan MoU dan UUPA agar tidak dipreteli satu per satu mengenai kekhususan Aceh,” tukas Fazloen Hasan dalam temu pers di Jakarta, Selasa (2/8).

Ia tegaskan, aksi itu sama sekali tak ada kaitannya dengan mendukung atau menolak calon independen dalam Pilkada Aceh. “Siapa pun yang jadi gubernur silakan. Yang penting, harus sesuai dengan mekanisme MoU Helsinki dan UUPA,” ujar Fazloen yang juga Ketua Umum Forum Perjuangan Keadilan untuk Rakyat Aceh (Fopkra).

Sebagaimana diinformasikan sebelumnya, rapat membahas Pilkada Aceh akan berlangsung siang ini (3/8) di Kantor Kemendagri. Rapat dipimpin Dirjen Otda, Prof Djohermansyah Djohan. Rapat tersebut merupakan kelanjutan dari hasil kunjungan Tim Kemendagri ke Banda Aceh, Selasa pekan lalu. Aksi demonstran akan dipusatkan di halaman Kantor Kemendagri, tempat pembahasan Pilkada Aceh berlangsung.

Berhati-hati
Menyikapi pelaksanaan pilkada di Aceh, Garda Penyelematan MoU Helsinki mengingatkan pemerintah pusat agar lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan terkait pilkada. Baik tahapan maupun mekanismenya, hendaklah merujuk pada keputusan DPRA.

Siang kemarin, delegasi Garda Penyelamatan MoU dan UUPA juga menemui Dirjen Otda Kementerian Dalam Negeri, Prof Djohermansyah Djohan. Delegasi Garda dipimpin Hendra Fauzi. Delegasi Garda membantah adanya anggapan bahwa persoalan regulasi Pilkada Aceh sebagai konflik internal Aceh.

“Apa yang terjadi saat ini di Aceh bukan persoalan internal Aceh, melainkan bagaimana mendorong agar UUPA dan MoU Helsinki dijalankan dengan penuh komitmen oleh pemerintah pusat. Ini adalah masalah kewenangan Aceh yang mulai digerogoti,” kata Hendra Fauzi seusai pertemuan dengan Dirjen Otda.

Aliansi organisasi masyarakat Aceh yang tergabung dalam Garda Penyelamatan MoU Helsinki itu terdiri atas Komite Mahasiswa dan Pemuda Aceh Nusantara (KMPAN), Forum Perjuangan Keadilan untuk Rakyat Aceh (Fopkra), Komite Mahasiswa dan Pemuda Aceh (KMPA), Komunitas Mahasiswa Pemuda Aceh Jakarta Raya (Kompa Jaya), Ikatan Keluarga Nagan Raya (IKA NR) Jakarta, Gabungan Anak Langsa (Galang), Komunitas FOBA Jakarta, Ikatan Pelajar Mahasiswa Simeulue-Jakarta (Ipelmas), Aliansi Rakyat Aceh Meudaulat (Alarm), dan Lembaga Aspirasi Masyarakat (LAM) Jakarta.

Aliansi tersebut menuntut pertanggungjawaban para pihak penandatangan MoU Helsinki serius menjaga dan menjamin perdamaian Aceh agar tetap berkesinambungan. Garda juga mendesak agar tidak ada pihak mana pun yang mengutak-atik UUPA, kecuali dengan mekanisme MoU agar perdamaian bisa abadi di Aceh. “Hal-hal yang menyangkut kewenangan Aceh dalam amanah MoU Helsinki mesti diakomodir untuk penyempurnaan UUPA. “Oleh karena itu, UUPA yang ada sekarang perlu direvisi sesuai MoU Helsinki,” ujar Fazloen Hasan.

Parpol diundang
Dari Banda Aceh dilaporkan, dalam pertemuan tingkat nasional membahas Pilkada Aceh yang diselenggarakan siang ini di Gedung Kemendagri Jakarta, Dirjen Otda Prof Dr Djohermansyah Djohan telah mengundang anggota Muspida Aceh dan pengurus partai politik nasional dan lokal di Aceh.

Juru Bicara Forum Silaturahmi Parpol Aceh, Ir Mawardy Nurdin yang dimintai komentarnya tentang pertemuan penting itu melalui telepon mengatakan, sebelum bertemu dengan Mendagri, Gamawan Fauzi siang ini, akan dilakukan pertemuan khusus pada pukul 10.00 WIB di sebuah hotel di Jakarta. Pertemuan itu antara DPRA, Gubernur, dan pengurus parpol di Aceh yang diundang dalam pertemuan di Kemendagri.

Pertemuan dimaksud, kata Mawardy, untuk menyamakan pendapat dalam penyelesaian konflik regulasi pilkada yang terjadi selama ini. Pertemuan pendahuluan itu dilakukan, agar pada pertemuan tingkat nasional siang nanti bakal tercapai kesepakatan antara DPRA dan Gubernur Aceh. Terutama mengenai komitmen untuk mempertahankan isi pasal-pasal UUPA agar ke depan tak seenaknya dibatalkan Makamah Konstitusi (MK), jika ada pihak yang mengajukan yudicial review terhadap pasal-pasal UUPA, seperti yang terjadi pada Pasal 256.

Dipertimbangkan
Menurut Mawardy, kesepakatan awal itu sangat penting. Jika komitmen terhadap masalah itu tidak disepakati lebih dulu antara DPRA dengan Gubernur Aceh, maka UUPA bakal dikuliti lagi oleh MK ketika ada pihak yang mengajukan yudicial review terhadap pasal-pasal lain dalam UUPA. “Untuk itu, sebelum rapat dengan Mendagri, hal pokok dan mendasar tadi perlu disepakati lebih dulu di tingkat internal Pemerintahan Aceh,” tegas Mawardy Nurdin.

Kalau hal itu telah disepakati pemerintah pusat dan usulan jadwal ulang tahapan pilkada dipenuhi bersama antara pemerintah pusat, KPU, KIP, Gubernur, DPRA, dan lainnya, maka menurut Mawardy Nurdin, sambil menunggu penyelesaian pembahasan konflik regulasi Qanun Pilkada, putusan MK tentang calon perseorangan, akan dipertimbangkan kembali untuk dibicarakan dalam pembahasan bersama Qanun Pilkada antara DPRA dan eksekutif. (fik/her) 

komentar independen
Jadikan Ajang Rekonsiliasi

Harapan saya terhadap pembahasan Pilkada Aceh di Jakarta hari ini, hendaknya semua pihak berpikir damai, sesuai konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku. Pikirkanlah yang terbaik buat rakyat Aceh, jangan mengedepankan berahi kekuasaan semata. Apalagi, ini bulan Ramadhan, maka momentum ini harus dimanfaatkan sebagai ajang rekonsiliasi bagi semua pihak demi masa depan rakyat Aceh.

Bagi kita, soal calon independen itu sudah final, karena itu hak warga negara. Dijamin oleh Konstitusi RI. Jadi, jangan mencederai Konstitusi Negara. Pemerintah pusat, dalam hal ini Mendagri dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus bersikap konstitusional. Jangan sampai kebijakan yang diambil justru inskonstitusional.

Kalau itu terjadi, maka akan berdampak pada cederanya kewibawaan penegakan hukum dan menjadi preseden buruk bagi proses penegakan hukum di Indonesia dan di Aceh khususnya. Jadi, calon independen harus tetap jalan.

Sedangkan judicial review adalah hak warga negara yang dijamin oleh UU dan Konstitusi. Jangankan parpol, Presiden saja tidak bisa mencabut hak itu. Siapa pun bisa melakukan judicial review. Jadi, ada calon independen atau tidak, maka judicial review adalah hak konstitusional. Apalagi, kemudian ketika MK sudah memutuskan tapi ternyata di dalam Qanun Pilkada item itu tidak diakomodir. Pasti akan ada gugatan. Terutama dari para kandidat calon independen yang sudah mendeklarasikan diri di Hotel Hermes Palace beberapa waktu lalu.

Sebagai sebuah UU, UUPA punya banyak kelemahan yang harus diperbaiki, terutama menyangkut pengaturan persoalan ekonomi. Masa ini tidak boleh diubah, kalau ternyata merugikan rakyat Aceh? UUPA kan undang-undang biasa. UUD 1945 saja sudah empat kali diamandemen. Sekali lagi, hak semua warga negara dan tidak bisa dibatasi. (hd)
* Rahmat Djailani, Inisiator Pertemuan Persaudaraan Calon Independen (PCI) Aceh.

tuntutan parpol:
Jadwal Ulang Pilkada
* Adanya kesepakatan nasional dari pemerintah pusat, Mahkamah Konstitusi (MK), DPR RI, lembaga tinggi negara lainnya, dan masyarakat Indonesia yang menjamin bahwa pasal-pasal UUPA tidak diutak-atik lagi, di-yudicial review, atau dibatalkan/dicabut.

* Untuk menyelesaikan konflik regulasi terhadap pilkada di Aceh, diperlukan penyelesaian secara adil, arif, damai, dan bermartabat dengan cara menjadwal ulang tahapan pilkada berdasarkan UUPA, bukan aturan pilkada secara nasional atau putusan KPU.

* Setelah kedua poin di atas bisa dipenuhi pemerintah pusat, MK, DPR RI, dan lembaga tinggi negara lainnya, barulah DPRA bersedia membahas kembali Qanun Pilkada bersama Gubernur Aceh dengan mempertimbangkan putusan MK Nomor 35/PUU-VIII/2010 tanggal 30 Desember 2010 yang membolehkan unsur perseorangan (independen) mencalonkan diri sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah pada Pilkada Aceh tahun ini dan seterusnya, ditambah soal penyelesaian sengketa pilkada di MK, bukan Makamah Agung. (her)

Editor : bakri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar