Selasa, 03 Januari 2012

Generasi Muda Harus Tampil Memimpin



Generasi Muda Harus Tampil Memimpin


LHOKSEUMAWE- Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik (HIMIPOL) mengadakan acara Mimbar Bebas memperingati Hari Sumpah Pemuda di depan gedung Prodi Ilmu Politik, Fisip, Unimal, Jumat (28/10) sekira pukul 09.00 WIB. Acara yang dihadiri puluhan mahasiswa tersebut diisi dengan orasi-orasi kritis dari mahasiswa. Masing-masing dari mereka secara bergiliran menyampaikan orasinya di atas panggung. Acara tersebut dibuka dengan orasi dari dosen Prodi Ilmu Politik Unimal, Taufik Abdullah, S.Ag, MA. Orasi yang disampaikan sangat beragam.

Misalnya Jefri Susetio yang menyampaikan orasi mengenai eksistensi pemuda di tengah gempuran globalisasi, M. Agam Khalilullah yang menyempaikan orasi tentang kewajiban pemuda untuk peduli kepada isu-isu Hak Asasi Manusia, Helmi tentang kesejahteraan pemuda, dan lainnya. Ketua HIMIPOL, Bisma Yadhi Putra, dalam orasinya mengatakan, kalau nafsu politik kaum muda kini sedang bergejolak. Pemuda kini banyak yang berani untuk terjun langsung ke dunia politik praktis.

Terutama menjelang Pilkada, pemuda sangat antusias untuk ikut terlibat dalam politik. Namun sayangnya, menurut Bisma, saat ini pemuda hanya bisa menjadi tukang pasang spanduk, tim sukses, atau menjadi bahan bakar mesin politik kandidat yang didominasi kaum tua. Tidak ada anak muda yang berani menjadi kandidat walikota, bupati atau gubernur.

Momen Hari Sumpah Pemuda harus dijadikan renungan bagi para pemuda untuk bisa lebih jauh berpartisapasi dalam pembangunan bangsa dan negara. Jika dulu banyak pemuda yang berani berdiri dibarisan paling depan medan perang, kenapa saat ini tidak ada yang berani berdiri sebagai kandidat Pilkada.

“Bukankah dulu banyak pemuda yang berani melempar granat? Kenapa sekarang tidak banyak yang berani melempar gagasan-gagasan cemerlang mereka untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di ranah kehidupan,”ujarnya, seraya menambahkan jika peran pemuda semakin terkikis, maka ditakutkan ke depan akan terjadi krisis regenerasi. (arm)

Sumber :
http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=23867

Kapan Petani Sejahtera


Rabu, 05 Oktober 2011

LHOKSEUMAWE (04/10) – Mahasiswa Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhoksemawe mengadakan diskusi rutin di Kampus Bukit Indah Lhokseumawe. Tujuannya merubah pola pikir mahasiswa terhadap berbagai perkembagan yang dihadapi Aceh saat ini khususnya dan Indonesia pada umumnya.


Diskusi yang digelar hari ini, selasa (04/10) berlangsung di Ruang 12 FISIP, mengangkat tema "Petani dan Politik". Rencananya diikuti mahasiswa dari beberapa Fakultas seperti Fisip, Ekonomi, Pertanian, Teknik dan Hukum namun tadi hanya di ikuti oleh Fakultas Fisip dan Ekonomi saja. Taufik Abdullah Dosen Ilmu Politik Fisip Unimal diminta untuk memandu dan membahani diskusi tersebut.

Dalam diskusi tadi Taufik Abdullah menilai  kebijakan Pemerintah belum membuat petani sejahtera. Ada banyak kendala dihadapi petani seperti kurang efektifnya penyuluhan pertanian, informasi pertanian dan  pengaturan debit air, sehingga seringkali gagal panen atau panen tidak memuaskan. Irigasi banyak yang rusak. Setelah masa tanam datang kemarau maka irigasi yang ada tidak cukup menyimpan debit air kata taufik.

Namun jika hujan berlangsung lama dipastikan banyak sawah terkenang sebagai faktor yang seringkali menyebabkan gagal panen. Banyak aliran sawah (lueng) tidak mendapat perawatan dengan baik. Disisi lain petani tergantung pada suplai air dari irigasi non-teknis dan tadah hujan. Keadaan ini sebagai tanda Pemerintah belum serius mengurus pertanian sehingga kehidupan petani tidak berubah. Masyarakat yang mengandalkan hidupnya  90% dari sektor pertanian nyatanya masih memprihatinkan.

Taufik juga mengemukakan masyarakat memandang petani dalam konteks bercocok tanam di sawah saja, padahal yang berkerja di sektor perladangan, perkebunan, perikanan dan peternakan disebut juga sebagai petani. Jadi, tidak hanya yang mengolah lahan sawah disebut petani. Karena itu, bicara nasib petani konteksnya luas dan perlu perhatian khusus untuk mereka. Nasib para petani kita belum sejahtera kata taufik.

Sebab itu, masalah pertanian adalah masalah politik. Artinya pemimpin sebagai pengemban amanah rakyat tidak boleh menafikan kehidupan pertanian. Pemerintah melalui kebijakannya mesti memikirkan bagaimana upaya mensejahterakan petani. Pemerintah bukan saja membangun infrastruktur pertanian tetapi juga perlu membuat kebijakan untuk mengatur kegiatan pertanian seperti tehnologi pertanian dan pengelolaan yang efektif serta pemasaran hasil petanian.

Beberapa hal lain adalah penyediaan bibit, penyuluhan, pengolahan lahan, perawatan yang cukup, sampai masa panen perlu didorong oleh pemerintah agar mereka bersungguh-sungguh dalam bertani. Selain itu, petani tidak sejahtera seringkali tidak memposisikan pekerjaannya sebagai sumber mata pencaharian yang menjanjikan. Disamping itu, petani tidak sejahtera karena saat tiba panen (massa produksi) seringkali harga jual tidak menguntungkan,  tetapi yang diuntungkan pemilik modal, tengkulak dan toke (mugee), ujarnya.

Pasca konflik dan berlangsungnya perdamaian pemerintah dinilai belum serius mentransformasikan bidang pertanian sebagai kekuatan utama pembangunan dan mensejahterakan masyarakat dibidang pertanian. Ironisnya  pemerintah kita baca di media terpaksa mengimpor beras dari negara tetangga untuk kebutuhan dalam negeri. Kita di Aceh lahan pertanian tersedia luas. Bahkan ada yang terlantar.  Ini pertanda pemerintah tidak serius mengurus pertanian.

Taufik mengatakan pula bahwa produksi pertanian khususnya tanaman padi hanya cukup bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Kapan petani sejahtera jika mengandalkan dari penghasilan padi ? Faktanya  tidak sedikit masyarakat kita jadi petani pengarab. Dikampung-kampung itu masyarakat seringkali jual sawah atau mengadaikan sawah untuk kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Lalu sawah berpindah tangan kepada orang-orang berduit dan akhirnya jadi petani pengarab, ujar taufik.

Dari tahun ke tahun menurut taufik sawah yang ada juga semakin berkurang. Pemerintah tidak berusaha membuka lahan baru tapi lahan yang ada  banyak kita saksikan dibangun  gedung, kantor pemerintah, pertokoan dan rumah. Usaha-usaha untuk menyelamatkan sawah yang ada juga tidak ada dari pemerintah. Ada juga sawah dijadikan tambak untuk memelihara ikan sehingga sawah semakin hari jadi semakin berkurang karena inovasi yang ada pada masyarakat tidak pernah dikontrol oleh pemerintah, tambahnya.

Harapannya untuk kedepan, pemerintah dapat mensejahterakan petani  melalui program-program lebih fokus, meningkatkan inovasi dibidang pertanian, membuka lahan baru untuk rakyat, transmigrasi lokal, meningkatkan daya juang, produksi dan mengawal harga jual  agar petani diuntungkan. Meningkatkan kapasitas penyuluhan, memberdayakan keujruen blang (tradisi), mampu mengawasi dan memberikan bimbingan yang cukup kepada petani, sehingga hasil panen yang didapatkan petani memuaskan.

Paling penting pemerintah mampu menetapkan harga jual yang menguntungkan petani. Bahkan memikirkan pasar yang lebih luas terhadap hasil produksi  sektor perkebunan, peternakan dan perikanan.  Dengan demikian semangat bekerja dan inovasi akan dapat ditingkatkan. Diakhir diskusi taufik menengaskan pembangunan di bidang pertanian saat ini belum mampu meningkatkan harkat dan martabat petani. Pemerintah diminta lebih serius memperhatikan pertanian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat  dibidang pertanian (saf).

Senin, 02 Januari 2012

FKMS Gelar Seminar Peringati Hari Perempuan dan HAM se-Dunia


Kamis, 15-Desember-2011

Penulis: Guruh Hariman Lhokseumawe-Mediasi Online. Aceh butuh politisi perempuan yang handal untuk merubah wajah Aceh baru pasca konflik. Demikian Taufik Abdullah Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Malikussaleh menyatakan pandangannya pada seminar memperingati Hari Perempuan dan HAM se-dunia di Aula Pemko Lhokseumawe (12/12/2011), yang lalu. Kiprah perempuan Aceh telah banyak berubah. Kalangan perempuan terdidik telah menang dari transisi domestik ke  wilayah publik namun butuh perjuangan maksimal pada ranah politik. Tanpa itu sulit merubah nasib dan pembelaan hak-hak perempuan secara menyeluruh kata taufik.

Seminar yang digelar oleh Forum Komunikasi Masyarakat Sipil (FKMS) Lhokseumawe & Aceh Utara, yang didalamnya terdiri lebih dari 30 LMS/Ormas itu mengusung tema "Pelayanan publik dan pembelaan hak-hak masyarakat, khususnya perempuan".  Ketua Pelaksana Hasni menyatakan berbagai ketidakadilan masih dihadapi perempuan karena kurang mendapat perhatian publik. Dikriminasi dibasis komunitas, pelecehan publik dan human trafficking masih sering terjadi. Banyak kasus trafficking woman sekarang ini marak di Aceh. Ini perlu dibongkar kata hasni dalam sambutannya.

Taufik Abdullah mengakui masih banyak ketidakadilan dirasakan perempuan tidak hanya dalam konteks lokal namun juga ditingkat nasional. Biarpun peran aktivis perempuan telah banyak melakukan perubahan dan pembelaan hak-hak perempuan diberbagai strata sosial. Namun dinilai selain tidak fokus juga inkonsisten dalam pendampingan dan disisi lain menafikan ranah politik. Pembangunan berbasis gender tidak mungkin terlaksana dengan baik jika perempuan tidak mau berjuang melalui parlemen. Menurut taufik berbagai qanun (perundang-undangan) yang dihasilkan banyak tidak sensitif gender.

Lanjutnya, dalam banyak hal perempuan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan.  Posisi strategis dalam birokrasi juga masih minim. Yang paling tragisnya kata taufik pada ranah politik,  perilaku diskriminatif, marginalisasi, subordinat dan stereotype masih berlangsung. Budaya patriakhi masih membelunggu sehingga peran perempuan di ranah politik belum membanggakan. Pada level lokal di Aceh dan nasional menurut taufik perjuangan perempuan di ranah politik butuh perjuangan lebih keras lagi.

Ditegaskannya, eksistensi politik perempuan dalam berbagai strata sosial maupun struktural pemerintahan memang cukup mewarnai. Tentu tidak dilihat seberapa banyak bekerja disektor itu. Tetapi, seberapa mampu perempuan mengubah budaya patriakhi ketus taufik. Secara terselubung dan kultural peran perempuan diranah politik masih di stigma negatif. Berbagai keadaan yang membelenggu dari transisi domestik ke transaksi publik tidak berdiri sendiri, demikian juga pada ranah politik. Jujur saja sepertinya perempuan tidak dibiarkan membiak, berkembang dan tubuh dalam aras politik. Legitimasi yuridis tidak paralel dalam prakteknya.

Diakui atau tidak,  politisi perempuan diposisikan ancaman pada ranah politik. Ini agenda besar kalangan aktivis perempuan untuk merubahnya kata taufik. Lagi pula akhir-akhir ini kepercayaan terhadap politisi perempuan menurun oleh berbagai kasus yang menghimpit. Sebut saja di level nasional, kasus yang menimpa politisi Wa Ode Nurhayati, Anggelina Sondakh, juga kasus karupsi yang melilit Nunun dan Miranda Gultom, sepertinya dibesar-besarkan agar citra perempuan di ranah publik anjlok.
Kalaupun itu benar, tidak semestinya menyurutkan nyali aktivis berkiprah dan masuk partai.  Mereka harus lebih mampu tampil sebagai sosok yang berintegritas dan bermoral tinggi demi terbelanya hak-hak perempuan.

Dalam konteks Aceh taufik juga menilai satu ironi keterwakilan perempuan di parlemen kian menurun. Pada periode lalu 11% keterwakilan perempuan di parlemen sementara periode ini tersisa 8,6%, yang boleh jadi ke depan hanya tinggal kenangan. Ke depan, kehadiran perempuan di parlemen sangat dibutuhkan memoralkan system politik. Mengapa tidak, dimasa konflik perempuan menjadi korban. Berbagai perlakuan tidak adil diterimanya. Banyak sekali jeritan mereka tidak tertampung dengan baik selama ini.

Karena itu, taufik berpandangan nasib perempuan akan berubah jika aktivisnya konsisten merebut posisi pada ranah politik, masuk partai politik dan berjuang melalui parlemen. Jika tidak demikian maka keadilan dan pembelaan hak-hak perempuan semakin jauh dari harapan.  Disarankan agar aktivis perempuan tidak hanya memanfaatkan berbagai funding dari pihak-pihak yang respek terhadap nasib perempuan.

Buat apa memberdayakan ruang privat (emosi) dan membentuk simpul-simpul gerakan pemberdayaan perempuan dengan berbagai program agar berperan diranah publik jika pada akhirnya suara mereka disabotase politisi laki-laki.

Jadi, aktivis perempuan saatnya lebih fokus, berjuang keras masuk partai dan menyuarakan nasib perempuan melalui legislatif, demikian taufik menegaskan. Disisi lain, sulitnya perempuan Aceh berjuang di ranah politik dewasa ini karena tidak ada ikon (ketokohan) yang mampu mengayomi ujar Alfian (Aktivis LSM) menggugat narasumber pada seminar itu. Taufik tidak menapik hal itu. Katanya lagi, sistem kepartaian kita belum sehat satu sisi ditambah budaya patriakhi yang mengurita serta stigma politik miliknya laki-laki menjadi tantangan berat bagi politisi perempuan".

Tak heran katanya koata 30% keterwakilan perempuan di parlemen sulit di penuhi. Pada pemilu ke depan partai politik perlu diawasi agar dapat menjalankan undang-undang dengan benar. Perlu ada sangsi kepada partai politik. Seringkali kali menjelang pemilu kepengurusan perempuan asal comot saja. Lalu dijadikan asesoris yang dipajang dipapan struktur organisasi atau menjadi pelengkap dalam sk kepengurusan. Padahal yang dibutuhkan sejak dari proses rekruetmen, kaderisasi, penyiapan caleg sampai benar-benar jadi legislator. Hal ini tidak dilakukan kata taufik.

Jika serius, dari sekarang menurut taufik partai politik menyiapkan dan merekruet kader potensial yang bukan hanya ditopang oleh tampang tapi juga kapasitas dan moralitas. Partai dari sekarang membina kader politisi perempuan agar partai bisa tampil sebagai pencerah dan pemberi cahaya  ditengah kejumudan politik dan tantangan keberlanjutan perdamaian Aceh. Saya yakin perempuan bisa menampilkan wajah baru dan warna lain dalam aras politik. Persoalannya kita belum serius untuk itu, termasuk aktivis perempuan sendiri, ketus taufik agak emosi.

Diakui taufik saat ini Aceh krisis politisi perempuan. Berbeda tempo dulu ada ketokohan yang mempersatukan. Dulu perempuan mampu memimpin pemerintahan dan politik di Kerajaan Aceh, diantaranya Putri Lindung Bulan, Putroe Phang, Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu, Ratu Safiatuddin, Ratu Naqiatuddin, Ratu Zakiatuddin, dan Ratu Kamalat Syah. Saat menghadapi penjajah perempuan juga tampil sebagai pemimpin perang. Ketokohan perempuan mampu mengendalikan operasi penyerangan baik di darat maupun di laut, diantaranya Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dhien, Fakinah, Cut Meutia, Pocut Meurah Intan, dan Pocut Baren.

Aceh tempo dulu memiliki sistem politik, hukum dan tatakelola pemerintahan terbaik di nusantara-tentu tidak lepas dari tangan halus perempuan. Trias politica sudah diperkenalkan di Aceh sebelum Monstique memperkenalkannya di Eropa. Balai Majelis Rakyat dibentuk sebagai kekuasaan legislatif yang langsung dipimpin oleh  Putroe Phang. Banyak qanun (perundang-undangan) dilahirkan dan dicontohi kerajaan-kerajaan lain di nusantara. Sepertinya kita tidak belajar pada masa lalu kata taufik dihadapan peserta seminar. Bahkan kini kita sering mendengar labelisasi politisi perempuan sebagai ineung cantoi, tidak ada kerjaan, dan sensasional.

Juru Bicara FKMS Safwani, dalam sesi tanya jawab memandang apa yang dikemukan narasumber ada benarnya. Namun banyak hal dibasis komunitas perlu pendampingan terus-menerus, termasuk penyadaran politik. Problematika yang dihadapi perempuan sepertinya terus bermunculan seiring lajunya modernisasi kata safwani. Ikut pula menyampaikan presentasi pada seminar ini Kepala Humas Pemko Lhokseumawe Masduki SH dan aktivis LBH Pos Lhokseumawe Zulfikar SH, yang mengakui banyak persoalan publik terutama pembelaan hak-hak perempuan masih butuh perhatian serius.  Jika menulusuri pinggiran kota yang dulu cukup dikenal penghasil gas dan pencetak dolar untuk Indonesia itu-nyatanya memang perempuan di kota ini masih tertinggal (**)

Sumber : http://www.mediasionline.com/readnews.php?id=2497

Forum Komunikasi Masyarakat Sipil Gelar Seminar Menyambut Hari HAM Sedunia di Lhokseumawe

Lhokseumawe | Acehtraffic.com – Forum Komunikasi Masyarakat Sipil Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe mengelar acara seminar dalam memperingati hari Hak Asasi Manusia. Senin [12/12]
Acara tersebut diselengarakan di Aula Kantor Wali Kota Lhokseumawe pada pukul 10:00 Wib, yang menjadi materi pada acara tersebut adalah: Zulfikar, SH dari LBH Banda Aceh Pos Lhokseumawe, Taufik Abdullah, S.Ag, MA Dosen Fisip Universitas Malikussaleh, dan  Masduki, SH Perwakilan Pemerintahan Kota Lhokseumawe.
Zulfikar dalam materinya menyampaikan bahwa: “Saat ini pelayanan publik masih belum berjalan efektif di Kota Lhokseumawe, masih ada hak-hak dasar masyarakat yang belum terpenuhi untuk saat ini”. Ujarnya
Beliau juga menambahkan “Untuk wilayah kota Lhokseumawe masih banyak warga yang belum memiliki hak atas perumahan dan lingkungan yang layak, seperti yang dialami oleh masyarakat di daerah pesisir kota Lhokseumawe”. Ujar Zulfikar juga sebagai  koordinator LBH Banda Aceh Pos Lhokseumawe
Dalam materinya, Zulfikar juga menampilkan beberapa gambar Potret kehidupan masyarakat miskin di Kota Lhokseumawe. Didalam gambar tersebut terlihat sebuah pemukiman penduduk yang dipenuhi dengan sampah-sampah.

Hal berbeda disampaikan oleh Taufik Abdullah, dalam materinya beliau menyampaikan mengenai kesetaraan Gender, menurutnya saat budaya pathiarki masih mengental di dalam tubuh masyarakat, hal tersebut di buktikan dengan masih sering terjadi penyampingan hak-hak wanita.

“Saat ini para wanita harus membuat suatu terobsan, dan para wanita juga jangan ogah untuk berpolitik, saat ini wanita juga harus membuat terobosan melalui Partai Politik”. Ujar Taufik Abdullah, S.Ag, MA juga sebagai Ketua Lab Ilmu Politik Universitas Malikussaleh.  

Kemudian dari perwakilan Pemerintahan Kota Lhokseumawe mengatakan bahwa “Kita telah berusaha dengan maksimal untuk memenuhi hak-hak dasar masyarakat, namun kita juga mengakui masih ada kekurang”. Ujar Masduki juga sebagai Staf Hukum Pemerintahan Kota Lhokseumawe.

Sementara itu ketua panitia ketika www.acehtraffic.com menjumpai di sela-sela acara mengatakan bahwa: “Tujuan diselengarakan acara ini adalah agar adanya pandangan padangan yang tepat terhadap pelayanan publik, adanya masukan berbagai pihak terhadap pelaksanaan pelayanan publik di kota Lhokseumawe dan meningkatnya peran pemerintan, swasta untuk memberikan pelayanan publik dengan baik untuk masyarakat”. Ujar Safwani, SH.| AT | AG |   

Sumber : http://www.acehtraffic.com/2011/12/forum-komunikasi-masyarakat-sipil-gelar.html

LSM Sorot Kinerja Dewan

Oleh: Husaini - 27/07/2011 - 23:03 WIB
BANDA ACEH | ACEHKITA.COM — Kinerja Dewan Perwakilan Daerah Aceh dinilai belum memberikan apresiasi yang bagus. Sering molornya pengesahan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh menjadi salah satu indikasi penilaian tersebut.

“Pengesahan APBA selalu molor. Dari tahun 2005 hingga 2011 misalnya, hanya APBA tahun 2009 yang tepat waktu, ini pun terjadi kerena adanya kepentingan di akhir masa jabatan legislatif,” kata Isra Safril dari Gerakan Anti-Korupsi Aceh pada diskusi publik Refleksi dan Pengawalan Kebijakan Eksekutif dan Legislatif di Haba Cafe, Banda Aceh, kemarin.

Dia juga menyoroti tentang tidak adanya keterbukaan informasi publik. Menurutnya, akuntabilitas dan transparansi anggaran kepada publik sangat dibutuhkan.

Dia menambahkan, masalah posisi wakil ketua III DPRA yang masih kosong hingga hari ini belum terisi akibat terbentur dengan berbagai pandangan pada peraturan dan kepentingan parpol. “Ini salah satu contoh dari masalah -masalah yang selama ini masih terjadi di DPRA.”

Sementara narasumber dari The Aceh Institute, Chairul Fahmi menyatakan, sampai sekarang ada 31 rancangan qanun prioritas yang belum dibahas. “Baru Qanun Rumah Sakit Ibu dan Anak dan Qanun Lingkungan Hidup yang sudah tuntas. Sedangkan Qanun Pilkada juga belum ada titik temu antara eksekutif dan legislatif,” sebut dia.

Chairul menekankan perlunya membangun kekuatan masyarakat sipil untuk mengontrol legislatif.

Sedangkan Taufik Abdullah mempertanyakan kenapa pada periode legislatif sebelumnya tidak terlalu ribut seperti sekarang. Apa karena sekarang ini anggota dewannya sudah ramai dari partai politik lokal.

“Sekarang kesannya ada sebuah warna yang menarik di DPRA, di mana terjadi disharmonisasi antara legislatif dan eksekutif,” sebut dia dalam diskusi yang diselenggarakan LSM Serambi Edukasi.

Semestinya, Dosen Unimal Lhokseumawe itu menambahkan, legislatif dan eksekutif lebih kompak dalam mempertanggungjawabkan perdamaian dan demokrasi yang dibina selama ini.

“Polemik eksekutif dan legislatif itu akan merugikan Aceh,” tegas dia.

Lebih lanjut, Direktur LSM Serambi Edukasi Aidil Mashendra dalam keterangan tertulisnya kepada acehkita.com menyebutkan, harapan ke depan akan terus ada lembaga masyarakat sipil yang konsen mengawal kebijakan eksekutif dan legislatif dalam pembangunan Aceh. []

Kinerja DPRA Belum Bagus

Medan Bisnis – Banda Aceh, 02 Agustus 2011

Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dianggap belum bagus, yang indikasinya dilihat dari sering tertundanya pengesahan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA).

“Sejak tahun 2005 hingga 2011, pengesahan APBA selalu molor, kecuali APBA tahun 2009 yang tepat waktu. Mungkin ini kerena adanya kepentingan di akhir masa jabatan anggota dewan,” kata salah seorang aktivis Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Isra Safril, kemarin di Banda Aceh.

Sedangkan indikasi lainnya, menurut Isra, terkait masalah posisi Wakil Ketua III DPRA yang masih kosong hingga saat ini, akibat benturan pandangan pada peraturan sekaligus kepentingan parpol.

“Inilah masalah-masalah yang selama ini masih terjadi di DPRA,” kata Isra. Chairul Fahmi dari The Aceh Institute mengungkapkan, sampai sekarang ada 31 rancangan qanun prioritas yang belum dibahas.

“Baru Qanun Rumah Sakit Ibu dan Anak dan Qanun Lingkungan Hidup yang sudah tuntas. Sedangkan Qanun Pilkada belum ada titik temu antara eksekutif dan legislatif. Jadi menurut hemat kami, perlu membangun kekuatan masyarakat sipil untuk mengontrol legislatif,” ujarnya.

Staf pengajar pada Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, Taufik Abdullah mempertanyakan kenapa pada periode legislatif sebelumnya tidak ribut seperti sekarang. “Apa karena sekarang ini anggota dewannya sudah ramai dari partai politik lokal?” tanya dia.

Sekarang, ujar Taufik, kesannya ada sebuah warna yang menarik di DPRA, yakni terjadi disharmonisasi antara legislatif dan eksekutif. Semestinya legislatif dan eksekutif lebih kompak dalam mempertanggungjawabkan perdamaian dan demokrasi yang dibina selama ini. “Polemik eksekutif dan legislatif itu akan merugikan Aceh,” tandasnya.

Anthony Reid: Aceh Menjadi Wilayah Terbuka


BERITA UTAMA 

Serambi Indonesia
Sabtu, 24 Februari, 2007

LHOKSEUMAWE: Peneliti masalah Aceh, Prof DR Anthony Reid menyebutkan, akibat bencana tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 membuat Aceh menjadi wilayah terbuka dan banyak dikunjungi orang.

Hal tersebut diungkapkan Reid saat berbicara di depan civitas akademika Universitas Malikussaleh, Kamis (22/2). Kegiatan itu digelar oleh pusat penelitian sosial dan politik yang diketuai Iskandar Zulkarnain serta lembaga penelitian Unimal yang diketuai Apridar. Hadir pada acara itu, Rektor Unimal, A Hadi Arifin, pembantu rektor dan dekan dalam lingkup Unimal.

Anthony Reid yang juga Direktur Asia Research Institute (ARI) National University of Singapore, termasuk seorang peneliti yang mendalami sejarah Aceh. Banyak buku sudah diterbitkannya dan menjadi referensi bagi para peneliti ilmu sosial.

Dalam pertemuan sekitar satu jam, Reid lebih banyak menceritakan tentang kejayaan Aceh di masa kesultanan. Ratusan tahun lalu, Aceh sudah menjalin kerjasama dengan beberapa negara timur tengah diantaranya Turki. Hubungan itu terjalin antara tahun 1520-1566 saat Turki dipimpin Sultan Sulaiman.

Sejarah Aceh, ujar Reid, sarat dengan ketegangan. Dan itu terus terjadi dan berubah pascabanjir raya (tsunami), beberapa waktu lalu. Sebelum tsunami Aceh tertutup dan terisolasi. Hal ini terjadi karena beberapa sebab yaitu konflik, penutupan Aceh untuk menyelesaikan persoalan serta jarak yang begitu jauh dengan Jakarta.

Namun, ujar sejarawan itu, perkembangan terus bergulir sehingga dari wilayah isolasi tiba-tiba Aceh dibanjiri oleh orang luar negeri. Perubahan ini ada banyak yang ragu bahwa dengan datangnya warga asing membuat Aceh tidak aman.

Kehadiran Reid ke Aceh dalam rangka memimpin sebuah internasional conference yang digelar oleh BRR bekerjasama dengan ARI. Dari konferensi ini diharapkan akan lahir sebuah lembaga penelitian yang cukup berkualitas di Aceh.


Perkembangan

Sementara Rektor Unimal, A Hadi Arifin memaparkan tentang keberadaan Unimal serta hal yang sudah dilakukan selama ini, termasuk menyangkut kerjasama dengan berbagai universitas dalam dan luar negeri.

Kepala Pusat Penelitian Sosial dan Politik Unimal, Iskandar Zulkarnain dan Wakil Kepala, Taufik Abdullah mengatakan, diskusi ini setidaknya memberi pemahaman ulang terhadap keberadaan Aceh dalam percaturan politik nasional, regional maupun sebagai pintu gerbang transaksi global dalam konteks masa lampau, kini maupun di masa mendatang.(swa)