Kamis, 16 Februari 2012

Berdemo, Garda Harapkan Pemilukada Damai

Nusantara - 3 August 2011 | 6 Komentar
Jakarta, Gerakan Damai (Garda) Penyelamatan MoU Helsinki mengharapkan Pemilukada Aceh berlangsung damai dan semua pihak menghormati kekhususan Aceh sesuai MoU Helsinki dan Undang-Undang No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Demo GardaMassa Gerakan Damai (Garda) berorasi di depan Gedung Kemendagri, Jakarta, Rabu (03/08). Mereka meminta Pemerintah Pusat serius dan berkomitmen menjalankan amanah MoU Helsinki. (Harian Aceh/Fahrizal Salim)
 “Kami menginginkan semua bukan hanya soal Pilkada kembali kepada MoU Helsinki dan segera menyempurnakan UUPA,” kata ketua Forum Perjuangan Keadilan Rakyat Aceh (FOPKRA) Fazloen Hasan, selaku juru bicara Garda Penyelamatan MoU Helsinki dalam aksi damai di Jakarta, Rabu (3/8).

Dia memaparkan, MoU Helsinki sebagai konsensus politik untuk penyelesaian konflik di Aceh yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menjelaskan bahwa konsideran yang dituangkan dalam MoU Helsinki itu tetap menjaga Aceh dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kesepakatan yang mengikat itu, kata dia, seterusnya diatur dan diundang-undangkan serta disahkan Pemerintah Pusat pada 1 Agustus 2006 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam bentuk Undang-Undang yang dikenal dengan UUPA. Ironisnya, menurut Fazloen, sejak undang-undang tersebut disahkan ternyata sampai saat ini masih dihadapkan oleh berbagai tantangan. Benturan-benturan dalam konteks yuridis maupun subtansinya menjadikan situasi damai sepertinya akan mengalami proses delegitimasi.

Dikatakannya, klausul-klausul pelaksanaan UUPA satu sisi belum sepenuhnya mengakomodasi amanah MoU Helsinki namun di sisi lain berbagai aturan pelaksana yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat belum diselesaikan sepenuhnya. Aturan pelaksana sebagai payung hukum pelaksanaan undang-undang terkesan diabaikan, katanya.

Akibatnya, lanjut dia, Pemerintah Aceh, dalam hal ini legislatif Aceh dihadapkan oleh berbagai prasangka politik. Berbagai qanun yang semestinya menjadi prioritas legislatif Aceh sejauh ini juga belum mampu diselesaikan dengan baik. “Hambatan-hambatan struktural dan kultural ini menunjukkan bahwa situasi perdamaian berada pada kondisi yang membahayakan,” katanya.

Terganggu

Keputusan Makamah Konstitusi (MK) yang merestui calon perseorangan untuk ikut Pilkada 2011, juga telah menyeret situasi perdamaian dalam keadaan chauvinistik dan antagonistik. Berbagai akumulasi politik yang cenderung pragmatis dipahami oleh para elit telah menyebabkan situasi perdamaian semakin rumit.

Pihaknya menilai sangat wajar apabila Legislatif Aceh sebagai satu di antara pilar-pilar lainnya yang ada dalam masyarakat Aceh merasa terganggu dengan keputusan MK tersebut. Respon dari partai-partai lokal dan partai-partai nasional yang meminta pertimbangan Pemerintah Pusat tentang pelaksanaan Pilkada adalah langkah bijaksana demi menyelamatkan dan memartabatkan perdamaian lebih membumi. “Mestinya sengketa Pilkada tidak mengemuka jika semua pihak memahami perdamaian adalah proses politik untuk memperkuat eksistensi dan hakikat damai Aceh dalam sistem NKRI untuk ke sekian kalinya,” tambah Fazloen.

Fazloen juga menilai saat ini terjadi kekisruhan politik terkait calon independen sehingga Pemerintah Pusat perlu lebih hati-hati menyikapi dalam mengambil kebijakan baik tahapan maupun mekanisme yang harus merujuk pada keputusan DPRA sebagaimana yang diamanahkan rakyat dan UUPA sebagai kekhususan Aceh.

Karena itu, semua aspek hukum dan proses politik mesti pula meletakkan MoU Helsinki dan UUPA sebagai perekat damai. Dengan berkomitmen pada landasan politik dan produk hukum yang dijalankan selama ini meski belum sempurna, maka Aceh punya landasan kuat untuk mengaktualisasikan pembangunan yang lebih mensejahterakan rakyatnya di masa mendatang, sebutnya.(ant)

Sumber :
http://harian-aceh.com/2011/08/03/berdemo-garda-harapkan-pemilukada-damai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar