TAUFIK.ABDULLAH

LIHAT, PIKIR, KERJAKAN DAN PENGABDIAN

Selasa, 19 Juni 2012

Eksistensi Indonesia di Gugat

Muhajir Juli I The Globe Journal
Selasa, 19 Juni 2012 14:50 WIB
Acara bedah buku Aceh: antara cinta dan keangkuhan.
 Foto: Muhajir Juli | The Globe Journal I Acara bedah buku Aceh: antara cinta dan Keangkuhan


 
Bireuen - Eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara bangsa (nation state) di gugat habis-habisan dalam bedah buku karya Baharuddin  AR, yang berlangsung di aula M.A. Jangka, Universitas Almuslim, Bireuen, Selasa (19/6). Buku ini berjudul Aceh: antara cinta dan keangkuhan.
 
Drs. Iswadi, M. Hum, dosen Bahasa Inggris Unimus, dalam bedahnya menyebutkan, kelompok etnik yang ratusan jumlahnya di nusantara, harus meleburkan diri ke dalam warga bangsa yang bernama Indonesia. Anehnya, berbagai warga kelompok etnik yang merupakan substansi dari pada warga Indonesia itu telah dinafikan tidak ada. Yang ada hanyalah warga bangsa Indonesia.

Padahal, Indonesia hanya ada dalam konsep politik, dimana substasi warganya adalah berbagai kelompok etnik seperti Aceh, Jawa, Minang dan lain sebagainya. Padahal kesemua kelompok etnik tersebut telah ada jauh sebelum negara Republik ini berdiri.

Dalam paparannya, Iswadi juga menambahkan, penulis (Baharuddin AR-red) menyebutkan, nampaknya keadaan seperti tidak disadari oleh berbagai warga kelompok etnik itu sendiri, karena dominasi politik Indonesia yang sangat kuat. Bahkan politik telah menajdi “panglima” yang harus dipatuhi, meskipun harus menelan korban jiwa yang semuanya itu demi membangun rasa nasionalisme ke-Indonesiaan.

Dalam pandangan Iswadi, penulis dalam bukunya juga memaparkan bahwa Indonesia telah menggunakan kekuatan militer sebagai instrumen politik untuk menggelar berbagai jenis operasi di Aceh. Hal inilah yang kemudian telah menghancurkan berbagai sendi kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan agama.

“Saya menangkap, penulis dalam bukunya juga memaparkan bahwa Indonesia telah menggunakan kekuatan militer sebagai instrumen politik untuk menggelar berbagai jenis operasi di Aceh. Hal inilah yang kemudian telah menghancurkan berbagai sendi kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan agama,”kata Iswadi saat memaparkan hasil bedah yang dia lakukan.

Masih dalam pandangan Iswadi, dalam setiap kata yang di olah, penulis juga ingin menyampaikan bahwa Aceh yang secara integral merupakan bagian dari Indonesia, telah mendapatkan perlakuan yang tidak lebih adalah manifestasi penjajahan di negeri sendiri. Inilah mungkin yang mengilhami Baharuddin untuk menyebutkan sebagai sebuah keangkuhan.

Lain Iswadi lain pula paparan yang disampaikan oleh pembedah lain yaitu Taufik Abdullah,MA, yang merupakan dosen di Fakultas Fisipol Unimal. Dihadapan peserta bedah buku, Taufik menyebutkan bahwa penulisan buku hasil karya Baharuddin belumlah sistematis. Cerita satu ke lainnya masih melompat-lompat.

Taufik juga menilai bila buku tersebut belumlah menjadi kajian akademis yang mendalam. Tapi karya tersebut masuk dalam kategori karya ilmiah populer, karena mengungkapkan fakta yang harus di kaji lebih mendalam.
Selain itu, Taufik juga mengkritik judul. Menurutnya, pemberian judul sedemikian rupa, merupakan beban psikologis dari penulis itu sendiri.

Baharuddin AR, dalam sambutannya mengatakan, buku yang ditulisnya menceritakan banyak hal. Namun dari semua itu, dapat diambil dua kesimpulan yang di bahas. Yaitu cinta dan keangkuhan. Menurut Baharuddin, bagi orang Aceh, cinta adalah sebuah kekuatan. Belanda dan Jepang bisa dikalahkan oleh orang Aceh, bukan dengan senjata dan kekuatan, tapi dengan cinta.

Pun demikian, dia melihat, akhir –akhir ini, kekuatan cinta itu telah memudar dari sebagian besar orang Aceh. Kondisi terkini, masuk ke masjid saya, sudah tidak lagi mau bertegur sapa, sebab yang dijumpai adalah kelompok yang berseberangan pemahaman dan tidak sependapat.

Bedah buku ini dilaksanakan oleh Bandar Publishing Banda Aceh bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unimus. Mukhlisuddin Ilyas yang merupakan Direktur penerbit tersebut, kepada The Globe Journal mengatakan, bedah buku ini dilaksanakan dalam rangka pameran buku yang direncanakan akan dilaksanakan di seluruh kampus yang ada di Aceh.

Menurutnya, pameran seperti ini seharusnya dilakukan oleh pemerintah daerah, yang merupakan pihak yang bertanggung jawab langsung terhadap upaya peningkatan sumber daya manusia rakyat. Pihak swasta seperti Bandar Publishing hanyalah elemen kecil yang punya kemampuan terbatas.

Sumber : 
http://theglobejournal.com/pendidikan/eksistensi-indonesia-di-gugat/index.php
Diposting oleh TAUFIK ABDULLAH di 09.06 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: SEMINAR

Rabu, 06 Juni 2012

Generasi Muda Buta Sejarah Aceh Kata Mahasiswa Universitas Jabal Ghafur Sigli

Himpunan Mahasiswa Sejarah (Himmaseja) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jabal Ghafur-Sigli mengelar seminar sejarah Aceh, Sabtu (02/06/12) di kampus setempat.

Yusrizal Ketua Umum Himmaseja kepada the atjehpost mengatakan bahwa seminar sejarah Aceh bertujuan agar mahasiswa Jabal Ghafur mendapat penalaran sejarah Aceh, baik dulu dan sejarah yang sedang berlangsung sekarang. Saat ini, mahasiswa menyadari pengetahuan dan minat tentang kesejarahan Aceh memudar. Generasi Muda Aceh semakin buta akan sejarah dan peradabannya kata Yusrizal.

Seminar bertemakan “Sejarah Aceh dan Subtansi dalam Pemerintah sekarang”, menghadirkan narasumber Tgk. Yahya Muaz Sekretaris Jenderal Partai Aceh, Taufik Abdullah, MA Dosen Ilmu Politik FISIP Unimal dan Zulkifli AG Dosen Universitas Jabal Ghafur.

Dalam pemaparannya Taufik Abdullah mengatakan bahwa kita dan generasi muda sekarang miskin sekali pemahaman sejarah. Memahami proses sejarah dan periodisasi sejarah sesuai konteks dan perkembangannya cukup penting. Dengan demikian generasi muda mendapat pemahaman sejarah tempo dulu, memahami kedudukan sejarah kekinian dan ke depan mampu menterjemahkan kepentingan peradabannya dengan baik.

Tanpa memahami sejarah kata taufik maka generasi muda khususnya mahasiswa kurang mampu berbenah dan membangun peradaban Aceh lebih kuat dan bermartabat. Pemahaman sejarah masa lalu dan konteks kekiniaan pasca perdamaian perlu ditulis apa adanya dan dikonstruksikan dengan tepat agar perdamaian dan pembangunan lebih maju dari sekarang. Pemerintah Aceh sekarang benar-benar dapat mengendalikan subtansi perdamaian dengan baik, tulus dan bersungguh-sungguh.

Sementara Tgk. Yahya Muaz menjelaskan kronologis sejarah Aceh tentang bagaimana masyarakat Aceh dulu dan bagaimana masyarakat Aceh sekarang? Peradaban Aceh dulu kuat dan disegani karena tatakelola pemerintahan dilandasi pada kekuatan hukum. Supremasi hukum di Aceh lebih tua dari Kerajaan Inggris. Kegemilangan Aceh juga ditopang oleh tatalaksana pelabuhan dan pelayaran, sehingga menguasai perdagangan serta mampu menjalin hubungan diplomatik yang harmonis dengan kerajaan dunia.

Pada era kolonialisme, Aceh tampil sebagai kekuatan utama di nusantara. Biarpun Aceh dihadapkan perang panjang namun tetap tangguh menjelang berakhirnya kolonialisme. Sejarah panjang Aceh semakin mengkristal ketika pada tahun 1945 s.d 1950 tampil sebagai penentu lahirnya negara baru bernama Indonesia. Siaran radio rimba raya, blokade medan area pada agresi pertama dan kedua dimana masyarakat Aceh menjadi kekuatan bagi kemerdekaan Indonesia. Tidak cukup waktu dan panjang untuk menjelaskan peran Aceh untuk kemerdekaan Indonesia. Karena itu Aceh menjadi daerah khusus dalam NKRI.  Sejarah dan peradaban Aceh yang panjang dan menjadi wilayah khsusus tak terbantahkan dalam perang kemerdekaan Indonesia kata Tgk. Yahya Muat.

Sekretaris jenderal Partai Aceh ini juga memaparkan sebab-sebab pergolakan politik keacehan dalam keindonesiaan. Perjuangan DI/TII, lahirnya Ikrar Lamteh, perjuangan GAM dan gerakan referendum. Seterusnya, Tgk Yahya menjelaskan subtansi pemerintahan Aceh pasca MoU Helsinki dan upaya-upaya implementasi UUPA dijelaskan cukup menarik melalui infokus (layar tembak).

Pada sesi tanya jawab mahasiswa cukup antusias bertanya dan menyampaikan pendapatnya. Diantaranya Zulkifli salah satu peserta seminar dengan emosional mengatakan Aceh adalah “kepala Indonesia”.  Aceh akan tetap menjadi modal bagi keutuhan Indonesia jika Aceh benar-benar terlaksananya “self goverment”. Cukup mendesak katanya pemerintah Aceh perlu menyelesaikan berbagai qanun-qanun kewenangan dan kekhususan Aceh. Identitas Aceh seperti bendera, lambang dan himne agar segera diselesaikan sebagai bukti Aceh memiliki kekhususan dalam NKRI kata zulkifli.

Peserta lainnya Akbar mengatakan Aceh akan dihadapkan pada krisis identitas jika tidak berpegang teguh pada komitmen perdamaian. Agar tidak mengalami krisis identitas maka rakyat Aceh mesti belajar pada akar sejarahnya. Sejarah Aceh tempo dulu dan sejarah Aceh untuk kemerdekaan Indonesia bukanlah dogeng. Ini perlu dipahami dengan benar oleh pemerintah sekarang baik di Aceh maupun di Jakarta agar konflik tidak berulang kembali.

Sementara Zulkifli AG Dosen Unigha mengarisbawahi isu-isu yang berkembang dalam seminar ini. Pertama, agar Aceh tidak mengalami krisis identitas maka kebutuhan terhadap lembaga penelitian sejarah Aceh cukup penting. Kedua, sejarah panjang Aceh sampai perang kemerdekaan Indonesia, termasuk bagaimana perdamaian dicapai saat ini  perlu dipahami generasi muda Aceh agar mereka siap membangun lebih baik. Ketiga, untuk tujuan ini perlu adanya kurikulum sejarah Aceh diajarkan pada sekolah-sekolah dasar sampai menengah. Mata pelajaran sejarah yang diajarkan selama ini sepertinya terputus padahal Aceh menjadi kekuatan utama kemerdekaan Indonesia. 

Sumber : 
Panitia Seminar Sejarah Aceh, Himmaseja FKIP Unigha, 05 Juni 2012 
Diposting oleh TAUFIK ABDULLAH di 21.09 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Minggu, 13 Mei 2012

Reposisi Parnas dan Studi Parlok di Aceh, Mau Kemana?

Sabtu, 12 Mei 2012 12:52 WIB
TAUFIK ABDULLAH | Foto : ILUSTRASI PARTAI LOKAL

Ilmuwan Barat seperti William Liddle, Herbert Feith, Harold Cruth dan banyak lainnya menjadi terkenal karena meneliti fenomena politik Indonesia. Mengapa? Karena demokratisasi yang sedang berjalan di Indonesia bergeser dari arasnya. Pemilu sebagai bagian dari demokrasi telah menyedot energi para ilmuwan untuk mengamati dan meneliti berbagai fenomena, terutama sistem kepartaian di Indonesia berkembang cukup dinamis (Thaha, 2004:VI).

Bagaimana tidak, di masa orde baru sistem kepartaian di kontrol ketat, dan ketika reformasi politik berlangsung dinamikanya semakin menantang. Jika di masa orde baru hanya tiga partai politik namun pasca reformasi partai politik tumbuh mekar bagai cendawan di musim hujan. Perubahan sistem kepartaian tentunya memberikan harapan disamping dihadang tantangan yang tidak mudah.  Barangkali yang menarik adalah di musim kampanye, baik Pileg (Pemilu Legislatif), Pilpres (Pemilu Presiden), Pilkada (Pemilu Kepala Daerah) dimana hampir semua lapisan masyarakat ikut arus pemilu.

Kita saksikan arus partai politik saling berjibaku sesama partai politik—bahkan arus partai politik harus berhadapan dengan arus non-partai (calon perseorangan) terutama pada kontestasi Pilkada, lalu arus kampanye dan akhirnya arus mencoblos—seolah tak kuasa menolaknya. Ritus demokrasi semacam itu tak ubahnya sebuah “pesta kawinan” di “gampong Aceh”. Tidak nampak “batang hidung” di pesta itu dianggap anti-sosial, bisa jadi diisolasi, dan sebagainya, dan sebagainya. Semaraknya semangat berdemokrasi mengalir deras sampai ke suprastruktur terkecil seperti Pilkades (Pemilihan Kepala Desa). Bahkan di Aceh bertambah satu lagi yaitu Pilkum (Pemilihan Kepala Mukim).

Situasi ini sepertinya kontestasi pemilu membuat masyarakat terhipnotis-bahkan dibius, sehingga mau tak mau dengan sukarela memilih agar bisa dianggap warga negara yang patriotik, taat asas dan hukum. Disisi lain ada yang menentang dan menghujat ke sana-sini tanpa bisa memberi solusi. Mungkin inilah wujud stagnasi dan liberalisasi politik. Tak heran, kita akan seringkali kelabakan jika ditanyakan; partai politik dan pemilu untuk siapa?
 
Sistem Kepartaiaan
Sistem politik atau tatakrama demokrasi modern masih memandang partai politik sebagai formulasi ideal dan piranti berbangsa dan bernegara. Demokrasi tanpa partai politik nihilis. Melalui partai politik rakyat mempergunakan hak dan tanggungjawabnya menentukan siapa-siapa yang dipilih sebagai pemimpin (wakil rakyat). Melalui parlemen public policy dibuat kemudian mengontrol dan mengawasi eksekutif. Partai politik membimbing, membina, pemenuhan hak, partisipasi politik,  penyaluran aspirasi dan bertanggungjawab terciptanya kestabilan, hajat hidup dan pembangunan. Untuk mencapai itu, maka partai politik dan pemilu dinilai sebagai instrumen (alat) yang baik.

Pemenuhan hak rakyat seperti itu seyogyanya tercipta alternatif. Sebab itu, negara demokratik setidaknya memiliki dua partai politik atau lebih yang saling bersaing untuk menjadi yang terbaik. Menurut Sigmund Neuman dalam Meriam Budiarjo (2000:160-62) partai politik adalah organisasi yang menjadi alat dari aktivis-aktivis politik, berusaha dan berjuang mendapatkan kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.

Kompetisi dimungkinkan berlangsung oleh sistem yang mengatur tatakelola partai atau sistem kepartaian. Setidaknya dua sistem populer dikenal saat ini. Pertama, sistem integratif, yang dalam prakteknya bersifat sektarian, tertutup dan cenderung menjadi partai tunggal (dominasi). Kedua, sistem kompetitif, cenderung bersifat terbuka, fungsi-fungsinya terspesialisasikan dan memiliki dua partai atau lebih, disebut multi partai (Fiks, 2006:43). Sementara jika dilihat dari karakteristiknya, maka sistem partai politik di bagi tiga, yaitu sistem tunggal, sistem dwi-partai dan sistem multi-partai (Maurice, 1984:21).

Dulu, partai tunggal seperti di Uni Soviet dibentuk oleh sebab berbagai golongan, daerah atau suku bangsa yang berbeda corak sosialnya dan pandangan hidupnya sulit dikendalikan. Pluralisme sosial dan budaya dikhawatirkan melahirkan gejolak politik, menghambat integrasi politik dan pembangunan. Karena itu, otoritarianisme partai bukan hanya tunggal tetapi menganggap oposisi sebagai sebuah pengkhianatan. Bahkan, organisasi sipil harus bernaung dibawahnya sebagai pembimbing, pengerak, menekankan perpaduan dan kepentingan partai dengan masyarakat secara menyeluruh.

Adapun sistem dwi-partai dimaksudkan adanya dua partai atau beberapa partai—biasanya dengan peranan dominan dua partai. Partai pemenang pemilu bertanggungjawab sebagai penguasa. Sebaliknya bagi partai yang kalah menjalankan fungsinya sebagai oposisi. Pengalaman ini dapat dilihat di Inggris. Partai Konservatif, Buruh dan Liberal saling bersaing menjadi penguasa dan oposisi. Pemilu atau wakil-wakil yang dipilih berdasarkan sistem distrik, yang mengandalkan sigle-member constituency. Hal ini akan berlangsung sejauh social homogeinity, political consensus dan historical countinuity saling dijaga bersama.

Dalam sistem distrik pemilihan ditentukan berdasarkan distrik-distrik yang jumlahnya sama dengan jumlah kursi yang diperebutkan (tersedia) di parlemen. Tiap distrik hanya memilih seorang wakil untuk mewakili distrik bersangkutan di parlemen. Calon yang terpilih adalah calon yang memperoleh suara terbanyak di distrik itu. Kelebihan suara tidak ditransfer untuk calon lain. Karena itu sistem yang dipilih mengutamakan si calon, bukan partai (Fiks, 2006:50).

Berbeda dengan sistem multi-partai, dimana alasan yang mendasar adalah keberagaman menjadi pendorong banyak partai untuk menyalurkan ikatan-ikatan terbatas (primordial)—maka dianggap satu keniscayaan. Dalam sistem ini kekuasaan lebih bertumpu pada legislatif. Eksekutif lemah dan ragu-ragu apalagi tidak ada partai yang cukup kuat untuk membentuk “pemerintahan sendiri”. Sistem pemilu yang digunakan adalah sistem pemilihan berimbang (proporsional refresentatif).

Sistem pemilihan ini dibagi atas daerah-daerah pemilihan dan komposisi kursi dibagi berdasarkan kursi yang tersedia di parlemen untuk diperebutkan di daerah tersebut. Kursi dibagi berdasarkan imbangan jumlah penduduk. Jika 1000 suara untuk satu kursi maka setiap partai memperoleh satu kursi jika mencapai jumlah tersebut. Bila suara untuk satu calon terpenuhi maka kelebihannya akan ditransfer pada urutan berikut dan seterusnya. Dalam sistem ini yang dipilih tanda gambar, bukan calon (Fiks, 2006:51).

Kita di Indonesia, India, Perancis dan Belanda menggunakan sistem ini. Koalisi partai atau pemerintahan koalisi sering terjadi. Namun dapat saja ditarik ketika kompromi atau kepentingan mencair. Menariknya, demokrasi yang berkembang pasca reformasi telah terciptanya ruang dan kebebasan politik. Liberalisasi dalam demokrasi kita ditandai tumbuh dan lahirnya partai politik cukup subur. Pada tahun 2004 sebanyak 50 Parpol ikut penyaringan namun hanya 24 Parpol lulus verifikasi dan ikut sebagai kontestan pemilu. Sumber KPU (2009) menjelaskan 34 Parpol lolos verifikasi ditambah 6  Parlok di Aceh. Menjelang Pemilu 2014 nanti diketahui ada 14 Parpol Baru akan diverifikasi—sejauh ini baru Parpol Nasdem dinyatakan lolos verifikasi.

Kita menganut sistem multi-partai dan pemilu sistem proporsional dimana kelemahan dan kebaikan dalam kedua sistem itu terus dibenahi secara periodik melalui aturan (perundang-undangan) pemilu. Undang-undang baru No. 2/2011 tentang Pemilu menjelaskan semua partai mesti ikut verifikasi, baik yang lolos “parlementary thereshold” maupun yang tidak lolos, serta partai yang belum pernah ikut pemilu. Disyaratkan Kepegurusan Parpol harus ada di 33 Propinsi, 75 % di Kab/Kota dan 50 % di Kecamatan. Biarpun kontestasi pemilu kita melalui sistem proporsional masih diperdebatkan namun itu masih cukup baik dan perlu kajian lebih mendalam menjawab seribu macam tantangan dan dinamika yang kita hadapi dalam berdemokrasi.

Hanya saja, ke depan, persoalan rekruitmen calon wakil rakyat, personalitas, kapasitas dan otoritas partai dalam menentukan calon menjadi persoalan penting.  Seorang wakil rakyat memang perlu dikenal luas oleh pemilih. Namun bukan saja dikenal tapi juga sudah mapan secara ekonomi sehingga tidak menjadi koruptor  dan lalai sebagai wakil rakyat. Hal ini krusial karena pemilih (konstituen) sepertinya tidak terikat dengan calon melainkan dengan dengan partai. Akibatnya wakil rakyat yang duduk di legislatif kurang responsif terhadap kepentingan rakyat, terutama jika tidak sejalan dengan platform atau kebijakan partai.

Kemudian, perilaku “elit partai” dalam menentukan calon gubernur, bupati dan walikota serta pemilihan calon presiden masih menimbulkan kasuk-kasuk, kolusi dan maney politic. Tak heran, setelah Aceh memperkenalkan calon perseorangan (non-partai) menjadi alternatif di propinsi lain untuk pemilihan gubernur, bupati dan walikota. Mencuatnya calon non-partai dalam kontestasi Pilkada karena partai belum mampu mereposisi peran dan fungsinya dengan baik. Disamping itu tradisi demokrasi kita memposisikan “oposisi setengah hati”.
 
Butuh Oposisi Politik
Hal yang mengembirakan sebenarnya adalah pemilu presiden—dimana partai pemenang dapat mengusung calon presiden secara mandiri. Ironisnya, partai pemenang cenderung kurang percaya diri. Pemerintahan SBY-Bodieono semestinya tidak perlu berkoalisi karena Partai Demokrat memperoleh suara mayoritas. Sikap Partai Demokrat sepertinya diratapi sekarang—dimana koalisi yang dibentuk tidak bisa dipelihara kesetiaannya. Gonjang-ganjing rapuhnya koalisi disetrum hebat oleh media. Kasus Century, Kasus Pajak dan sekarang penolakan Kenaikan Harga BBM sebagai bukti koalisi tidak bisa diharap. Rapuhnya koalisi juga oleh perilaku elit demokrat yang tersandera kasus dan isu korupsi—sedang menyeruak.

Lalu, kita bertanya ada apa dengan koalisi? Setidaknya hal ini dipengaruhi, pertama liberalisasi politik pasca reformasi cenderung tidak stabil. Dampak liberalisasi meretasnya kesempatan dan peluang merebut sumberdaya-sumberdaya politik. Tantangannya terkait distribusi dan agregasi kepentingan tidak mampu menyebar luas dan terbatas—bisa berakibat munculnya antagonisme politik berkepanjangan. Tentu, wujudnya oposisi dikhawatirkan partai pemenang. Kedua, budaya politik kita masih prematur (belum mampuni). Ini karena partai yang kalah cenderung mencari posisi aman untuk merawat kepentingan karena politik kita masih high cost. Satu indikatornya kampanye tidak mungkin dilakukan tanpa sumber daya dan uang. Maka negara dirampok ramai-ramai.

Tradisi “money politic” masih rentan dan budaya politik kita belum mampuni secara kasat mata menjadi motif awal merengsek masuk koalisi baik saat mengusung kandidat presiden atau belakangan masuk koalisi demi eksistensi dan jatah beberapa menteri di kabinet. Sikap inklusif partai pemenang karena belum kesastria menjadi hero yang jantan dan santun. Masing-masing mencari posisi aman demi alasan kestabilan politik dan keberlanjutan pembangunan. Berbeda dengan rezim orde baru yang juga menganut sistem kompetitif sama halnya dengan rezim reformasi sekarang, namun rezim orde baru dalam prakteknya sangat integratif. Mengapa demikian?

Tentu, Soeharto belajar di masa orde lama—dimana Soekarno mengurus negara dengan banyak partai politik cukup rumit, termasuk adanya partai lokal diawal kemerdekaan Indonesia. Feith Herbert (1999) mencatat beberapa partai lokal saat itu dikenal partai kedaerahan atau kesukuan, diantaranya Partai Gerindo Yogyakarta, Partai AKUI Madura, Partai Rakyat Desa Jawa Barat, dan Partai Rakyat Indonesia Merdeka Jawa Barat, Gerakan Pilihan Sunda (Jawa Barat), Partai Tani Indonesia (JawaBarat), Gerakan Banteng (Jawa Barat), Partai Persatuan Indonesia Raya (Lombok, Nusa Tenggara Barat)  dan Partai Persatuan Daya Kalimantan Barat.

Kekhawatiran Soekarno dan Soeharto beralasan. Isu nasionalisme saat itu belum tuntas. Karena itu, Soeharto tampil dengan manifesto demi mencegah disintegrasi. Lalu, membagun fusi partai dengan mengabungkan partai-partai yang terserak oleh latarbelakang historis, aliran, visi-misi, tujuan, program dan berbagai kepentingan yang ingin diperjuangkan, serta atas dasar ideologis digabungkan menjadi tiga partai, yaitu PPP, Golkar dan PDI. Masing-masing disimbiosiskan menjadi partai atau golongan sprituil, golongan karya dan golongan nasionalis yang menurut Soeharto bukan untuk melenyapkan partai melainkan untuk memperjelas indentitasnya (Ipong, 1997:90-95).

Menjustifikasi kehendaknya Soeharto tidak lain sebenarnya memenangkan kekuasaanya dengan sangat hegemonic. Ia memakai strategi ABG, yaitu ABRI (TNI), Birokrasi dan Golkar, yang kemudian dikemas dalam “trilogi pembangunan” yaitu mendasarkan pada perioritas pembangunan ekonomi, keamanan dan stabilitas politik. Sayangnya strategi ini dikendalikan sesuai selera rezim—dimana hegemoni kekuasaan merasuki berbagai strata, yang berujung terjadinya fragmentasi sosial, fragmentasi politik dan fragmentasi ekonomi. Persoalan etnis, agama, budaya, mobilitas penduduk, kesehatan, moralitas dan publik menyebabkan terjadinya fragmentasi sosial. Isu-isu pemberdayaan pemerintahan lokal atau demokrasi lokal, clean government terabaikan. Pola hegemoni kekuasaan seperti ini menyebabkan terjadinya fragmentasi politik.

Sementara fragmentasi ekonomi karena adanya ketimpangan pendapatan dan distribusi, meningkatnya pengangguran dan kemiskinan, serta monopoli usaha oleh segelintir  pihak. Akibat terlalu politis, dimana Golkar terlalu ketat meraih kemenangan, pendekatan keamanan tertutup dan refresif; militer sebagai katalisator, birokrasi sebagai instrumen kekuasaan, kemudian kebijakan publik tidak transparan, rendahnya implementasi HAM, lembaga peradilan kurang independen dan politik sentralisasi—menyebabkan munculnya gelombang protes atau gerakan reformasi, dimana gerakan mahasiswa dijadikan ujung tombak.

Mencuatnya gelombang reformasi karena hegemoni kekuasan rezim orde baru berlangsung lama dan politik oposisi tidak menjadi tradisi dalam berdemokrasi ketika itu. Pada hematnya demokrasi yang baik dimulai oleh adanya pengakuan dan penghargaan antara partai yang kalah dan partai yang menang lalu menjadikan oposisi sebagai satu keniscayaan. Ke depan, siapapun partai pemenang harus mampu tampil lebih berani, sehingga perkembangan demokrasi kita lebih terukur, dinamis  dan berdaya. Jadi, partai politik, pemilu dan kampanye yang berakhir dengan kemauan rakyat mencoblos (memilih) bukanlah sebuah arus yang semu.

Selebihnya demokrasi kita butuh oposisi, yang hanya memungkinkan dilakukan oleh partai kader namun berbasis massa, proyektif dan progresif serta gerakan sipil pro-demokrasi menjadi inovatornya. Partai kader berbasis massa maksudnya partai yang bukan hanya diisi oleh individu-individu yang cerdas tapi memiliki komitmen yang tinggi memperjuangkan demokrasi yang sesungguhnya, yaitu mampu mensejahterakan rakyatnya. Disebut partai kader dimana anggota-anggotanya taat, memajukan organisasi dan berdisiplin tinggi. Pemimpin partai biasanya menjaga kemurnian doktrin politik dan karenanya sangat selektif dalam merekruet anggota-anggotanya. Tak heran anggota yang menyeleweng dari garis (ideologi partai) dipecat.

Sedangkan Partai Massa mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota. Bisa jadi ia didukung oleh berbagai aliran politik dalam masyarakat yang sepakat memperjuangkan suatu program yang biasanya luas dan agak kabur. Namun mudah terancam lemah bila pihak-pihak didalamnya memaksa kepentingan masing-masing dan jika memisahkan diri biasanya membuat partai baru. Gejala terakhir ini telah berlangsung dalam demokrasi kita dimana partai politik cukup mudah didirikan oleh siapapun. Sehingga kesannya transisi demokrasi Indonesia berhasil dipermukaan namun dalam makna sesungguhnya perlu reposisi monumental. Selebihnya, kita berharap Aceh menjadi pengalaman baru, dimana transisi demokrasi dan perdamaian Indonesia dibekas wilayah konflik ini  perlu ditegakkan dengan ketulusan.  Kearifan  dan  “demokrasi lokal” sedang tumbuh memenuhi hajat hidupnya sebagai sebuah keniscayaan untuk menyelamatkan bangsa dan negara.
 
Urgensi Demokrasi Lokal
Sejak menggeliatnya agenda reformasi dalam banyak hal pemerintahan nasional telah merancang tatakelola pemerintahan daerah dengan konsep otonomi daerah. Agenda demokrasi lokal ini sangat krusial untuk membangun Indonesia seutuhnya, sejahtera lahir dan batin. Berbeda dengan demokrasi lokal di Aceh bukan saja sekedar otonomi khusus tetapi direkatkan dengan sebuah instrumen politik—yaitu adanya partai politik lokal (parlok). Inilah pilihan pemerintahan nasional untuk Aceh, mengapa demikian?  Pemerintahan nasional dan masyarakat Aceh menyadari Aceh sebagai sebuah bangsa yang berdaulat atas kemerdekaan Indonesia. Dalam sejarahnya senantiasa siap menjadi oposisi. Gerakan pembebasan atau gerakan kemerdekaan yang diperjuangkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) puluhan tahun karena ada persoalan mendasar. Masyarakat Aceh berjuang demi identitasnya, menentang ketidakadilan, dipinggirkan dan dizalimi oleh rezim-rezim dalam rentang waktu yang cukup lama. 

Asal mula konflik Aceh sebagaimana digambarkan Antony Reid (2005), kemudian mosaik konflik Aceh; kepemimpinan, ideologi dan gerakan yang digambarkan Isa Sulaiman (2006), sampai imajinasi etno-nasionalisme sebagaimana digambarkan Taufan Damanik (2010) cukup beralasan mengapa Aceh beroposisi.  Dimulai dari Otto Syamsuddin (2001) dari maaf ke panik Aceh dan catatan-catatan yang terserak lahirnya ativisme pro-demokrasi sejak 1997-2005 cukup melengkapi oposisi Aceh dengan pemerintahan nasional. Gerakan sipil menjadi energi produktif mereduksi persoalan akibat konflik berkepanjangan dengan cara merekat jaringan laba-laba, yang kemudian cukup populis dikenal “gerakan referendum”. Somasi ini diputuskan dalam sebuah Kongres Mahasiswa, Pemuda dan Masyarakat Aceh Serantau (KOMPAS), yang meresolusi penyelesaian sengketa antara GAM dan Pemerintahan Nasional di Jakarta melalui jajak pendapat rakyat atau referendum dibawah pengawasan masyarakat Internasional.

Gerakan pembebasan dan gerakan sipil saat itu telah membuka warna Aceh di mata dunia. Sekian lama penderitaan Aceh akhirnya semakin terbuka ketika dihantam tsunami. Ini menjadi modal dan fakta sejarah yang mengemparkan dunia sehingga berbagai persoalan yang membelunggu beberapa dekade terburai dalam semangat baru. Perjanjian damai dibicarakan—yang berujung disepakatinya MoU Helsinki sebagai sebuah konsensus politik yang mengikat. Dalam konsensus ini Aceh dikukuhkan haknya mengatur dan menyelenggarakan pemerintahannya sendiri dibawah Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). MoU Helsinki dan UUPA mesti dijalankan seutuhnya.

Aceh bukan hanya berkesempatan mengatur dirinya sendiri tetapi secara signifikan dapat memperkuat otoritas dan identitas politiknya. Aceh perlu memaksimalkan pengembangan demokrasi lokal demi menjawab beban sejarah dan meneguhkan dirinya lebih kuat lagi sebagai kesejatian untuk Indonesia.  Kesejatian demokrasi lokal di Aceh melalui identitas politik lokal atau partai politik lokal (parlok) bertujuan mengukuhkan integrasi politik dalam semangat baru (neo-nasionalisme), yang saling percaya dan ihklas. dr. Zaini Abdullah mengatakan; karena Aceh Indonesia Ada”. UUPA 2006 harus menjadi perekat rasa ke-indonesia-an. Tidak ada Indonesia tanpa Aceh, tidak ada (Beuranda IV Maret 2012).

Membaca pikiran dr. Zaini Abdullah sebagai tokoh pendiri GAM dan perdamaian, maka tujuan partai lokal maupun partai nasional (parnas) di Aceh dapat disarikan, pertama memperjuangkan perdamaian, hajat hidup, harkat dan martabat rakyat Aceh. Kedua, mewujudkan stabilitas sosial politik dan pembangunan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Aceh. Ketiga, bertujuan agar Aceh mampu membangun khasanah; jati diri, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur kebangsaan; demokratisasi, kearifan lokal, sosial budaya dan identitas politik, kemandirian serta kemauan kuat dan berdaya dalam sejarah peradabannya.

Dengan demikian arah perkembangan demokrasi lokal dan keberadaan partai politik lokal di Aceh secara subtansi memagari keinginan untuk menuntut kemerdekaan dari pemerintahan nasional. Hal ini dikarenakan masyarakat secara terbuka dan aktif terlibat dalam proses pemilihan pemimpinnya, tanpa campur tangan  pemerintah pusat. Muhammad Djafar (2009:123) dalam proposal desertasinya mengatakan bahwa karakteristik kepemimpinan politik yang dihasilkan akan mengikuti selera politik masyarakatnya, sehingga peran pemerintahan pusat hanya menjadi penegas dari hasil tersebut. Semoga saja bisa. Wallahu’aklam. []

Taufik Abdullah adalah Staf Pengajar Ilmu Politik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh. Tulisan ini disarikan dari bahan diskusi (handout) pada sesi perkuliahan siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara di Lhokseumawe. Penulis juga aktif sebagai pemerhati dan pegiat gerakan sosial politik, demokrasi dan perdamaian Aceh.
Diposting oleh TAUFIK ABDULLAH di 03.38 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: OPINI

Rabu, 09 Mei 2012

DEMO TUNDA PILKADA MELUAS KE PIDIE JAYA

Demo Tunda Pilkada Meluas ke Pidie Jaya. Pidie Raya - 28 October 2011 | 10 Komentar.

Meureudu | Harian Aceh – Seribuan orang di Pidie Jaya menggelar demo menuntut penundaan Pilkada, Kamis (27/10). Massa meminta Bupati, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten, dan Komisi Independen Pemilihan Pidie Jaya menandatangani surat pernyataan mendukung tahapan Pilkada ditunda sementara waktu hingga konflik regulasi selesai.

Aksi massa yang dikoordinir organisasi Komite Mahasiswa dan Pemuda Aceh (KMPA) Pidie Jaya itu berlangsung di Kompleks Kantor Bupati dan DPRK Pidie Jaya. Orator aksi, Maimun Musa, meminta Bupati Pidie Jaya, Muhammad Gade Salam, ketua DPRK Pidie Jaya, Tgk Saiful Bahri, agar keluar menjumpai massa.

Bapak Bupati, rakyat Anda ada di luar dalam kondisi panas. Bapak kami minta untuk keluar dan ikut bersama menuntut Pilkada ditunda sementara waktu, sampai konflik regulasi selesai, teriak Maimun. Sebelum menuju kompleks kantor Bupati, massa terlebih dahulu berorasi di depan Kantor KIP Pidie Jaya, dan ikut membawa semua komisioner  lembaga pemilihan itu ke Kompleks Pemerintahan Pidie Jaya, tempat orasi dipusatkan.

Komisioner KIP dari divisi Hukum dan Pengawasan, Musman SH, Divisi Anggaran dan Logistik, Ir Hamdan Hasballah, Divisi Pemungutan dan Perhitungan Suara, Cut Nur Azizah, dan Divisi Pemutakhiran Data Pemilih, Fuadi Iskar berjalan kaki bersama seribu pendemo menuju kantor Bupati.

Setiba di Kantor Bupati, orator meminta Kapolres Pidie/Pidie Jaya, Dumadi Sst Mk, memberikan arahan di hadapan massa. Kapolres meminta pasukannya agar tak menghalangi orasi massa selama aksinya damai.
Penyampaian aspirasi juga harus damai, tidak boleh anarkis. Saya berterimakasih kepada KMPA yang telah menggerak massa untuk tidak anarkis, kata Dumadi.

Setelah Kapolres, Bupati Pidie Jaya ikut memberi orasi. Kalau aksi ini untuk menjaga perdamaian, jangankan satu tanda tangan, seribu pun akan saya tandatangani, kata Gade Salam. Pidie Jaya katanya, tak mengucur sepeser pun uang dalam pelaksanaan tahapan Pilkada selama ini. Pidie Jaya tidak memilih Bupati dan wakil tahun ini, jadi saya tidak berhak mengeluarkan uang rakyat untuk itu, kata Gade Salam disambut sorak-sorai massa.

Massa juga meminta KIP Pidie Jaya yang diwakili Musman SH untuk memberikan penjelasan pada para pendemo. KIP Pidie Jaya dalam melaksanakan tahapan Pilkada juga berpedoman pada Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA), kata Musman.

Perkataan Musman SH tak membuat massa puas. Kami mau KIP tunda tahapan Pilkada untuk sementara waktu,  teriak Nur Hazizah, orator yang didatangkan dari Aceh Besar. Setelah orasi itu, KMPA meminta Komisioner KIP Pidie Jaya menandatangani surat pernyataan mendukung Pilkada ditunda sementara waktu sampai konflik regulasi dinilai selesai.

Selain anggota komisioner KIP Pidie Jaya, Bupati Muhammad Gade Salam ikut membubuhkan tandatangan dan stempel basah Bupati Pidie Jaya atas pernyataan menunda Pilkada. Dari DPRK Pidie Jaya, hal yang sama dilakukan Wakil Ketua II, Ramli SH.

Dalam pernyataan sikap, massa KMPA menilai KIP Provinsi dan kabupaten/kota tergesa-gesa dalam melaksanakan Pilkada sehingga menimbulkan konflik regulasi. Pelaksanaan Pilkada dinilai tak sesuai Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Karena itu, KMPA yang merupakan organisasi sayap politik dari Partai Aceh itu meminta KIP Pidie Jaya menghentikan Pilkada sementara waktu dan menuntut segera penyelesaian konflik regulasi sesuai UUPA dan MoU Helsinki dengan alasan menyelamatkan perdamaian.

Massa yang ikut demo kebanyakan dari kalangan mahasiswa dan pemuda, walau beberapa peserta juga terdiri dari kaum perempuan setengah baya. Aksi berakhir dengan damai pada jam 14.00 WIB. Kami dibantu dari KMPA Sigli dan mahasiswa dari Pidie Jaya, kata Maimun Musa, koordinator Aksi.(csu)

Sumber : 
http://harian-aceh.com/2011/10/28/demo-tunda-pilkada-meluas-ke-pidie-jaya



AKSI KMPA PIDIE JAYA TUNTUT TUNDA PILKADA 

Laporan Wartawan Serambi Indonesia, Idris ismail
TRIBUNNEWS.COM, MEUREUDU - Sekitar lima ratusan Komite Mahasiswa Pemuda Aceh (KMPA) Pidie Jaya, Kamis (27/10/2011) menyerbu tiga kantor pemerintah di Pidie Jaya, Kantor Bupati Pidie Jaya, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK), dan Komisi Independen Pemilihan (KIP).

Kedatangan lima ratusan dari kalangan KMPA kabupaten setempat untuk meminta penundaan Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) sebelum tuntasnya Konflik regulasi Pemilukada.

Dalam aksi damai, para mahasiswa KMPA Pidie Jaya telah berkumpul di Lapangan bolakaki Kota Meureudu sejak pukul 10.00 WIB dengan melakukan beberapa orasi selama satu jam, sebelum mengerahkan massa ke Kantor KIP Pidie Jaya.

Dalam orasi dilapangan bolakaki Kota Meureudu, turut menyampaikaan beberapa poin pernyataan sikap. Diantaranya, agar KIP Pidie Jaya untuk mendukung dan menyatakan sikap resmi menolak Pilkada dan menghentikan tahapan-tahapannya sebelum tuntas regulasi konflik.

"Untuk DPRK setempat, KMPA juga menyatakan sikap resmi bahawa Pilkada cacat hukum dan akaan berdampak rusaknya stabilitas politik, keamanan, dan gagalnya perdamaian," ungkap Ketua KMPA Pijay, Maimun Moesa didampingi koordinator aksi, Zikrillah kepada Serambinews.com, Kamis (27/10/2011). (*)

Sumber :
Tribunnews.com - Kamis, 27 Oktober 2011 14:11 WIB. Tribun Jakarta Edisi Siang, 9 Mei 2012.


Ini Alasan KIP Pidie Jaya Meneken Petisi KMPA

Oleh: Radzie - 27/10/2011 - 17:50 WIB
BANDA ACEH | ACEHKITA.COM — Empat komisioner KIP Pidie Jaya membubuhi tandatangan di atas pernyataan sikap yang dipersiapkan Komite Mahasiswa dan Pemuda Aceh (KMPA) dalam aksi menuntut penundaan pilkada di Meureudu, Kamis (27/10). Apa alasan KIP Pidie Jaya mengakomodasi tuntutan massa KMPA itu?

Anggota Komisi Independen Pemilihan (KIP) Pidie Jaya Hamdan Hasballah mengatakan, massa KMPA mendatangani kantor KIP dan meminta agar empat komisioner untuk bersama-sama massa bergerak ke halaman kantor Bupati Pidie Jaya.

Di sana, Bupati Pidie Jaya Gade Salam dan Wakil Ketua DPRK Ramli juga diminta berbicara dan menandatangani petisi berisi persetujuan penundaan pemilihan kepala daerah Aceh yang akan digelar 24 Desember nanti.

“Pak Bupati dan wakil ketua DPRK membacakan pernyataan sikap lalu menandatangani,” kata Hamdan Hasballah saat dihubungi melalui telepon seluler dari Banda Aceh, Kamis sore.

KIP yang mendapat giliran ketiga juga diminta berbicara dan menandatangani tuntutan yang telah dipersiapkan KMPA. Seorang komisioner KIP di hadapan seribuan (KMPA mengklaim 5.000) massa menjelaskan tentang tugas dan wewenang Komisi Pemilihan.

“Kami menjelaskan bahwa untuk penghentian tahapan pilkada, KIP Pidie Jaya tidak mempunyai kewenangan,” kata Hamdan.

Apalagi, KIP Pidie Jaya tidak sedang melaksanakan pemilihan bupati dan wakil bupati. Hamdan bilang, tahapan yang tengah mereka jalankan hanya untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur. “Jadi itu kewenangan KIP Provinsi,” sebut Hamdan.

Namun, Hamdan menambahkan, KIP Pidie Jaya tetap menampung aspirasi yang disampaikan massa KMPA yang menginginkan penundaan pilkada hingga lahirnya regulasi yang jelas.

Penjelasan KIP ini tak serta-merta diterima massa KMPA. “Mereka seperti marah dan tidak terima pernyataan kami seperti itu,” katanya. “Mereka meminta kami tegas dan mendukung seperti tuntutan mereka.”

Setelah berembuk, empat komisioner KIP Pidie Jaya akhirnya menandatangani tandatangan di atas draf tuntutan yang telah dipersiapkan KMPA sebelumnya. “Di akhir acara, setelah lihat kiri-kanan, kami lalu menandatanganinya,” sebut Hamdan.

Hamdan menyebutkan, KIP Pidie Jaya yang tengah melaksanakan tahapan pemilihan gubernur dan wakil gubernur akan tetap menjalankan tahapan. “Tahapan jalan terus. Kalau pun ada penundaan, itu biar diputuskan KIP Aceh. Kita komit menjalankan itu,” ujar Hamdan.

Ketua KMPA Pidie Jaya Maimun Musa menyebutkan, petisi tuntutan penundaan pilkada ditandatangani secara sukarela oleh Bupati Gade Salam, Wakil Ketua DPRK Ramli, dan empat komisioner KIP. “Tidak ada paksaan,” kata Maimun kepada situs ini.

Sementara Bupati Pidie Jaya Gade Salam menolak berkomentar ketika dikonfirmasi acehkita.com. “No comment, ya,” sebut dia. Gelombang tuntutan penundaan pilkada juga berlangsung di Idi Rayeuek, Aceh Timur, Kamis (27/10). Massa KMPA meminta agar bupati, DPRK, dan KIP untuk menyuarakan aspirasi mereka.

“Aksi ini tidak ditunggangi pihak manapun, tapi murni kesadaran dan tanggungjawab masyarakat yang tidak ingin MoU Helsinki dan kekhususan Aceh diutak-atik Jakarta,” kata Ketua KMPA Aceh Timur Benni Belda dalam statement tertulis yang dikirim ke media.

Sebelumnya, aksi serupa terjadi di Kabupaten Pidie. Di sini, Bupati Mirza Ismail, KIP, dan pimpinan DPRK bersepakat agar pilkada ditunda. Bahkan, Bupati Pidie menolak mencairkan dana pemilihan, sehingga KIP Pidie kelimpungan. []

Sumber :
http://www.acehkita.com/berita/ini-alasan-kip-pidie-jaya-meneken-petisi-kmpa

Inilah Isi Pernyataan dan Tanda Tangan Minta Tunda Pilkada

By fakhrurrazi amir on Oct 28, 2011 

MEUREUDU – Aksi unjuk rasa Komite Mahasiswa Pemuda Aceh (KMPA) menuntut penundaan pilkada di Pidie berakhir setelah Bupati, Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan DPRK Pidie Jaya menandatangani pernyataan mendukung penundaan pilkada. Berikut adalah pernyataan sikap KMPA dan surat pernyataan yang ditandatangani para pihak yang dikirim ke redaksi The Atjeh Post, Kamis (27/10) malam.

PERNYATAAN SIKAP DAN DUKUNGAN AKSI DAMAI
MASYARAKAT PIDIE JAYA

“Hentikan Pilkada Sementara Waktu”
(Menuntut Segera Penyelesaian Konflik Regulasi Sesuai UUPA dan MoU Helsinki Demi Menyelamatkan Perdamaian)

Memperhatikan konflik regulasi selama ini telah memunculkan persepsi dan terjemahan beragam serta diikuti pelaksanaan Pilkada oleh KIP Propinsi dan diikuti oleh semua Kabupaten/ kota adalah pemaksaan, yang jelas– jelas dapat menghancurkan perdamaian. Hal ini didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut :

Pertama, menilai sikap KIP Propinsi/ Kabupaten/ Kota yang tergesa–gesa melaksanakan tahapan Pilkada adalah sebagai upaya yang sengaja atau tidak perlu diminta pertanggungjawaban. Konflik sesama masyarakat dan ancaman perdamaian tidak akan mengemuka seperti sekarang ini apabila sejak awal KIP dengan arif dan bijaksana menyatakan sikap menolak melaksanakan tahapan Pilkada.

Kedua, menilai penolakan KIP Propinsi/ Kabupaten/ Kota cukup beralasan karena pelaksanaan tahapan Pilkada tidak didasarkan pada kekuatan hukum dan Politik yang mengikat perdamaian Aceh. Secara akal sehat pula semestinya KIP tidak tergesa–gesa dan memaksakan tahapan Pilkada sebelum adanya kesepakatan dan kepastian hukum serta dukungan politik semua pihak. Demikian pula, pembentukan panwaslu akhir-akhir ini tidak lebih upaya melegalkan Pilkada seolah– lah telah memenuhi syarat pelaksanaannya.

Ketiga, secara mendasar masyarakat sejak awal menilai keputusan Makamah Konstitusi (MK) sebagai upaya mengadu domba agar Aceh dan Rakyatnya selalu berada dalam bara konflik yang menyesatkan. Bahkan ada maksudnya jahat mengelola Aceh tetap berada dalam sangketa dengan Pemerintahan Pusat. Akibatnya sistem pemerintahan baik dipropinsi dan Kabupaten/ Kota mau tidak mau dihadapkan pada situasi yang sulit. Terakhir, pascal gagalnya kesepakatan penyelesaian konflik regulasi yang difasilitasi Pemerintahan Pusat semakin diyakini bahwa kekhusussan dan kewenangan sesuai MoU dan UUPA akan bernasib sama seperti ikrar Lamteh

Keempat, sikap Partai Aceh yang tidak menerima keputusan MK, menerima usulan penundaan dan perlunya ditunjuk pejabat pemerintahan, serta diikuti dengan sikap tegas menolak mendaftarkan calon sesuai tahapan yang ditetapkan KIP Propinsi/ Kabupaten/ Kota, telah pula menimbulkan berbagai dugaan dan bermacam analisa yang cukup meresahkan masyarakat.

Memahami bahwa jika kemudian pemimpin yang terpilih tidak diakui oleh Partai Aceh, tentu akan berdampak pada Pilkada ulang, bahkan situasi sulit dan kekecewaan akan memuncak. Sebaliknya logika–logika ekstrem, rasis, skenario jahat dan aksi kekerasan yang marak muncul kembali nampaknya sedang diarahkan kepada para kombatan sebagai pelakunya, tentu akan lebih menyesatkan lagi.

Bahwa atas dasar pertimbangan tersebut, dan memperhatikan kegelisahan batin rakyat aceh secara umum dan khususnya di Pidie Jaya saat ini akan berpotensi munculnya konflik baru sesama anak bangsa, maka kami Komite Mahasiswa Pemuda Aceh (KMPA) Wilayah Pidie Jaya menampung dan mewadahi aksi Masyarakat Pidie Jaya, dengan tegas menuntut “Hentikan Pilkada Sementara Waktu. Seterusnya menuntut segera penyelesaian konflik regulasi sesuai UUPA dan MoU Helsinki demi menyelamatkan Perdamaian”. Kita tidak berharap Pilkada dipaksakan karena hanya akan menambahkan masalah dikemudian hari, terciptanya krisis morak anak bangsa lebih buruk dan hancurnya perdamaian.

Kondisi tersebut perlu diantisipasi denga cara “ segera hentikan pilkada sementara waktu”. Penghentian tahapan pilkada sangat mendesak sampai adanya penyelesaian konflik regulasi secara tuntas dan menyeluruh. Karena itu, kami masyarakat Pidie Jaya yang cinta damai dan perdamaian meminta dukungan tegas, kongrit segenap lembaga pemerintahan yaitu Legislatif, Eksekutif dan KIP Pidie Jaya selalu pelaksana Pilkada untuk menyatakan ”Sikap resmi menghentikan pelaksanaan Pilkada sementara waktu” Sikap resmi ini dibuktikan dengan kesediaan membubuhkan tanda tangan (Stempe) pada lembaran pernyataan ini, seterusnya menyatakan sikap resmi masing–masing atau bersama atas nama lembaga penyelenggara Negara dan Pemerintahan, serta dengan sunggu-sungguh menjalankan tuntutan tersebut, yaitu sebagai berikut:
  1. DPRK Pidie Jaya mendukung, bersedia dan menyatakan sikap resmi bahwa pelasanaan Pilkada Catat demi hokum karena kana berdampak rusaknya stabilitas Politik, keamanan dan gagalnya perdamaian.
  2. KIP Pidie Jaya mendukung, bersedia dan menyatakan sikap resmi bahwa menolak (tidak berhak) meleksakana Pilkada dan menghentikan semua tahapan Pilkada sementara waktu sampai tuntas penyesaian konflik regulasi, adanya kepastian hukum dan dukungan politik dari semua pihak.
  3. Bupati Pidie Jaya mendukung bersedia dan menyatakan sikap resmi bahwa pelaksanaan pilkada tidak rasional dipaksakan karena masih adanya perselisihan hukum dan politik serta perlu menghentikan semua pembiayaan dana pilkada untuk sementara waktu.
Adalah bahwa surat resmi yang dikeluarkan oleh-oleh lembaga tersebut berlandaskan prinsip-prinsip sejarah dan moral perjuanga bangsa, politik, hukum dan perdamaian, dengan berpegang teguh pada landasan falsafah dan Kontitusi pemersatu bangsa dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu UUD 1945, MoU Helsinki dan UUPA Siapapun yang meruntuhkan Konsensus dan Kontitusi tersebut adalah Musuh Negara yang harus dilawan secara damai, serta menghimbau masyarakat meningkatkan kewaspadaan, menghargai perbedaan, tidak mudah dihasut dan difitnah serta saling bermusuhan

Pidie Jaya 27 Oktober 2011
An. Mandat Aksi Damai Masyarakat Pidie Jaya
Komite Mahasiswa Pemuda Aceh Dewan Pengurus Wilayah Pide Jaya

ZIKRILLAH MAIMUN MOESA .SP

Koordinator Aksi Ketua KMPA Pidie Jaya

MENYETUJUI/ DUKUNGAN RESMI
Komisi Independen Pemilihan (KIP) Pidia Jaya

Drs. BASRI M. SABI
Ketua Komisi Independen Pemelihan (KIP) Pidie Jaya

Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Bupati Pidie Jaya Drs. H.M GADE SALAM
(DPRK) Pidie Jaya


1. Tgk. SAIFUL BAHRI (KETUA DPRK)


2. Ir. H. SULAIMAN ARY (WAKIL KETUA I)


3. RAMLI. SH (WAKIL KETUA ll)
Sumber:  
Atjeh Post (dalam http://www.siwah.com/pendidikan/marketing-politik/inilah-isi-pernyataan-dan-tanda-tangan-minta-tunda-pilkada.html) 


 
Foto Aksi Demo Tunda Pilkada di Pidie Jaya

Bahaba News menghimpun foto aksi damai menuntut tunda Pilkada yang dimotori KMPA di Pidie Jaya, Kamis 27 Oktober 2011. Ini dia rekaman lensa.

Massa berkumpul di lapangan bola kaki Meureudu sekitar jam 08.00 wib.
Massa berada di depan kantor KIP Pidie Jaya sekitara jam 09.37 wib
Dari Kantor KIP Pidie Jaya, massa beranjak menuju kantor Bupati, tempat orasi dipusatkan.

Komisioner KIP Pidie Jaya, Musman SH digiring bersama pendemo untuk ikut bersama seribu massa ke kantor Bupati yang berjarak 2 km dari kantor KIP.
Massa saat sampai di depan kantor Bupati Pidie Jaya sekitar jam 10.11 wib
Bupati Pidie Jaya, Muhammad Gade Salam dan Kapolres Pidie Jaya, Ajun Komisaris Polisi Besar Dumadi ikut memberi pengarahan kepada massa agar tidak bertindak anarkis.
Pemegang nota dinas ketua KIP Pidie Jaya, Musman SH membacakan pernyataan sikap KIP Pidie Jaya mendukung pelaksanaan Pilkada Aceh ditunda sementara waktu hingga konflik regulasi dinilai selesai.
Tuntutan massa KMPA. KIP dinilai bermental lemah karena diam terhadap tuntutan tunda Pilkada yang dinilai KMPA merupakan aspirasi rakyat Aceh secara keseluruhan.
Bupati Pidie Jaya, Muhammad Gade Salam akhirnya membubuhkan tandatangan dan stempel basah diatas surat pernyataan yang disodorkan aktivis KMPA sebagai bentuk dukungan penuh terhadap tuntutan tunda Pilkada sementara waktu.
Komisioner KIP Pidie Jaya dan DPRK Pidie Jaya juga membubuhkan tandatangan dan stempel basah di atas pernyataan dukung tunda Pilkada.
Bupati Pidie Jaya Muhammad Gade Salam digotong turun dari truk pendemo setelah menandatangani surat dukungan tunda Pilkada Aceh.
Anggota DPRK Pidie Jaya dari Partai Aceh, Munfizar berorasi meminta massa membubarkan diri dengan tertib. Karena aksi demo yang dikoordinator KMPA merupakan aksi damai dalam menyampaikan aspirasi untuk menunda sementara waktu tahapan Pilkada Aceh hingga konflik regulasi dinilai selesai. Jam 14.00 Wib, massa membubarkan diri dengan tertib.

Sumber :
Foto by  :Arif Surahman dan Amrizal Arnida.
 http://www.bahabanews.com/2011/10/foto-aksi-demo-tunda-pilkada-di-pidie.html

 

Diposting oleh TAUFIK ABDULLAH di 03.02 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: PILKADA

Tuntut Tunda Pilkada, 10.000-an Massa Datangi DPRK Pidie



 Firman Hidayat | The Globe Journal
Kamis, 20 Oktober 2011 00:00 WIB
 
Banda Aceh — Hari ini, Kamis (20/10) arus lalu lintas macet total. Massa KMPA yang jumlahnya hampir 10 ribuan itu memadati jalan-jalan protokol pusat Kota Sigli sepanjang tiga  kilometer. Menurut informasi yang diterima The Globe Journal dari Ketua KMPA Pidie, Mustaqim, massa bersama anggota DPRK Pidie berkonvoi dengan truck menuju Kantor Bupati Pidie. 

Awalnya massa KMPA diterima oleh Anggota DPRK Pidie dan sepakat untuk menunda Pemilukada sampai regulasi selesai. Kesepakatan itu disikapi diatas pernyataan yang ditanda tangani oleh Ketua DPRK, Ketua KIP dan Bupati Pidie. “Ketua DPRK Pidie sudah menandatangani pernyataan tersebut, sekarang massa sedang menuju ke kantor Bupati Pidie,” kata Mustaqiem yang didampingi oleh Ketua KMPA Aceh, Hendra Fauzi. 

Usai sholat dhuhur, massa KMPA Pidie meminta Bupati Pidie untuk menandatangani pernyataan sikap agar Pemilukada ditunda sampai regulasinya selesai. Setelah itu massa KMPA akan bergerak menuju Kantor KIP Pidie untuk menuntut hal yang sama, yaitu meminta agar Ketua KIP Pidie menyetujui penundaan Pilkada sampai regulasi selesai. 

Melalui The Globe Journal, Mustaqiem menyampaikan terima kasih dengan aparat keamanan yang sangat persuasif menjaga aksi damai 10 ribuan massa KMPA Pidie ini. 

Jika aksi damai ini belum mendapatkan respon dari 3 pihak yang dimaksud Ketua KIP, Ketua DPRK dan Bupati Pidie maka KMPA mendesak crisis manajement initiatif (CMI) wajib bertanggung jawab terhadap proses perdamaian di bumi Aceh sebagaimana amanah MoU Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005. Pihak Uni Eropa dalam hal ini CMI diminta bertanggung jawab atas kelalaian dalam pengawalan perdamaian di Aceh jika Pilkada dilanjutkan.
Diposting oleh TAUFIK ABDULLAH di 02.22 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: PILKADA
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda
Langganan: Postingan (Atom)

Mengenai Saya

Foto saya
Lihat profil lengkapku

KATEGORI

  • PILKADA (18)
  • BERITA (10)
  • ISU GENDER (10)
  • SEMINAR (8)
  • PERDAMAIAN (4)
  • OPINI (3)
  • GERAKAN SIPIL (2)
  • GOOD GOVERNANCE (2)
  • PILEG (1)
  • PILPRES (1)

Posting Populer

  • Kapan Petani Sejahtera
    Rabu, 05 Oktober 2011 LHOKSEUMAWE (04/10) – Mahasiswa Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhoksemawe mengadakan diskusi rutin di Kampus Buk...
  • SURAT TERBUKA TUNTUT BOS SIRA DIBEBASKAN
    S U R A T  T E R B U K A Sifat    :     Urgent Hal     :     Bebaskan tanpa syarat Muhammad Nazar ( Ketua Dewan Presidium SIRA ) Kepad...
  • Konflik Pilkada Picu Keraguan Rakyat
    Tue, Jul 5th 2011, 11:20 Konflik Pilkada Picu Keraguan Rakyat * ORI Umumkan Hasil Survei Kutaraja BANDA ACEH - Konflik politik pilkada ...
  • Kinerja DPRA Belum Bagus
    Medan Bisnis – Banda Aceh, 02 Agustus 2011 Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dianggap belum bagus, yang indikasinya dilihat dari ...
  • Refleksi 7 Tahun Tsunami: Bandar Publishing Gelar Doa Bersama dan Diskusi Krisis Sosial
    Selasa, 27-Desember-2011 Penulis: Guruh Hariman   Banda Aceh-Mediasi Online. Hari ini (Senin), 26 Desember 2004, sekitar pukul 08.15 Wib...
  • Anthony Reid: Aceh Menjadi Wilayah Terbuka
    BERITA UTAMA  Serambi Indonesia Sabtu, 24 Februari, 2007 LHOKSEUMAWE: Peneliti masalah Aceh, Prof DR Anthony Reid menyebutkan, akibat...
  • REKOMENDASI DAN PETISI PERDAMAIAN ACEH
    Kepada Yang Mulia, 1. Pemerintah Indonesia melalui kantor Menkopolkam, Jakarta 2. Pemerintah Negara Aceh mel...
  • Mahasiswa Tolak Operasi Militer
    From: indonesia-p@indopubs.com Date: Fri Apr 13 2001 - 17:13:14 EDT X-URL: http://indomedia.com/serambi/2001/04/140401h12.htm ...
  • Rekomendasi Konferensi dan Seminar Internasional Malikussaleh
    REKOMENDASI Konferensi dan Seminar Internasional Malikussaleh : Dulu, Kini dan Yang Akan Datang Tanggal 11-12 Juli 2011 di Gedung A...
  • MK: Silakan Gugat
     Selasa, 11 Oktober 2011 12:26 WIB Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menjabat tangan Ketua DPRA Drs Hasbi Abdullah dalam perte...
HOME

Pengikut

PEGUNJUNG

ARSIB

  • ▼  2012 (39)
    • ▼  Juni (2)
      • Eksistensi Indonesia di Gugat
      • Generasi Muda Buta Sejarah Aceh Kata Mahasiswa U...
    • ►  Mei (8)
      • Reposisi Parnas dan Studi Parlok di Aceh, Mau Kemana?
      • DEMO TUNDA PILKADA MELUAS KE PIDIE JAYA
      • Tuntut Tunda Pilkada, 10.000-an Massa Datangi DPRK...
    • ►  April (18)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2011 (23)
    • ►  Desember (23)
Tema Jendela Gambar. Diberdayakan oleh Blogger.