Sabtu, 12 Mei 2012 12:52 WIB
TAUFIK ABDULLAH | Foto : ILUSTRASI PARTAI LOKAL
Ilmuwan Barat seperti William Liddle, Herbert Feith, Harold Cruth dan
banyak lainnya menjadi terkenal karena meneliti fenomena politik
Indonesia. Mengapa? Karena demokratisasi yang sedang berjalan di
Indonesia bergeser dari arasnya. Pemilu sebagai bagian dari demokrasi
telah menyedot energi para ilmuwan untuk mengamati dan meneliti berbagai
fenomena, terutama sistem kepartaian di Indonesia berkembang cukup
dinamis (Thaha, 2004:VI).
Bagaimana tidak, di masa orde baru sistem kepartaian di kontrol ketat,
dan ketika reformasi politik berlangsung dinamikanya semakin menantang.
Jika di masa orde baru hanya tiga partai politik namun pasca reformasi
partai politik tumbuh mekar bagai cendawan di musim hujan. Perubahan
sistem kepartaian tentunya memberikan harapan disamping dihadang
tantangan yang tidak mudah. Barangkali yang menarik adalah di musim
kampanye, baik Pileg (Pemilu Legislatif), Pilpres (Pemilu Presiden),
Pilkada (Pemilu Kepala Daerah) dimana hampir semua lapisan masyarakat
ikut arus pemilu.
Kita saksikan arus partai politik saling berjibaku sesama partai
politik—bahkan arus partai politik harus berhadapan dengan arus
non-partai (calon perseorangan) terutama pada kontestasi Pilkada, lalu
arus kampanye dan akhirnya arus mencoblos—seolah tak kuasa menolaknya.
Ritus demokrasi semacam itu tak ubahnya sebuah “pesta kawinan” di “gampong Aceh”. Tidak nampak “batang hidung”
di pesta itu dianggap anti-sosial, bisa jadi diisolasi, dan sebagainya,
dan sebagainya. Semaraknya semangat berdemokrasi mengalir deras sampai
ke suprastruktur terkecil seperti Pilkades (Pemilihan Kepala Desa).
Bahkan di Aceh bertambah satu lagi yaitu Pilkum (Pemilihan Kepala
Mukim).
Situasi ini sepertinya kontestasi pemilu membuat masyarakat
terhipnotis-bahkan dibius, sehingga mau tak mau dengan sukarela memilih
agar bisa dianggap warga negara yang patriotik, taat asas dan hukum.
Disisi lain ada yang menentang dan menghujat ke sana-sini tanpa bisa
memberi solusi. Mungkin inilah wujud stagnasi dan liberalisasi politik.
Tak heran, kita akan seringkali kelabakan jika ditanyakan; partai
politik dan pemilu untuk siapa?
Sistem Kepartaiaan
Sistem politik atau tatakrama demokrasi modern masih memandang partai politik sebagai formulasi ideal dan piranti berbangsa dan bernegara. Demokrasi tanpa partai politik nihilis. Melalui partai politik rakyat mempergunakan hak dan tanggungjawabnya menentukan siapa-siapa yang dipilih sebagai pemimpin (wakil rakyat). Melalui parlemen public policy dibuat kemudian mengontrol dan mengawasi eksekutif. Partai politik membimbing, membina, pemenuhan hak, partisipasi politik, penyaluran aspirasi dan bertanggungjawab terciptanya kestabilan, hajat hidup dan pembangunan. Untuk mencapai itu, maka partai politik dan pemilu dinilai sebagai instrumen (alat) yang baik.
Sistem politik atau tatakrama demokrasi modern masih memandang partai politik sebagai formulasi ideal dan piranti berbangsa dan bernegara. Demokrasi tanpa partai politik nihilis. Melalui partai politik rakyat mempergunakan hak dan tanggungjawabnya menentukan siapa-siapa yang dipilih sebagai pemimpin (wakil rakyat). Melalui parlemen public policy dibuat kemudian mengontrol dan mengawasi eksekutif. Partai politik membimbing, membina, pemenuhan hak, partisipasi politik, penyaluran aspirasi dan bertanggungjawab terciptanya kestabilan, hajat hidup dan pembangunan. Untuk mencapai itu, maka partai politik dan pemilu dinilai sebagai instrumen (alat) yang baik.
Pemenuhan hak rakyat seperti itu seyogyanya tercipta alternatif. Sebab
itu, negara demokratik setidaknya memiliki dua partai politik atau lebih
yang saling bersaing untuk menjadi yang terbaik. Menurut Sigmund Neuman
dalam Meriam Budiarjo (2000:160-62) partai politik adalah organisasi
yang menjadi alat dari aktivis-aktivis politik, berusaha dan berjuang
mendapatkan kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas
dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang
mempunyai pandangan yang berbeda.
Kompetisi dimungkinkan berlangsung oleh sistem yang mengatur tatakelola
partai atau sistem kepartaian. Setidaknya dua sistem populer dikenal
saat ini. Pertama, sistem integratif, yang dalam prakteknya bersifat sektarian, tertutup dan cenderung menjadi partai tunggal (dominasi). Kedua, sistem kompetitif,
cenderung bersifat terbuka, fungsi-fungsinya terspesialisasikan dan
memiliki dua partai atau lebih, disebut multi partai (Fiks, 2006:43).
Sementara jika dilihat dari karakteristiknya, maka sistem partai politik
di bagi tiga, yaitu sistem tunggal, sistem dwi-partai dan sistem multi-partai (Maurice, 1984:21).
Dulu, partai tunggal seperti di Uni Soviet dibentuk oleh sebab berbagai
golongan, daerah atau suku bangsa yang berbeda corak sosialnya dan
pandangan hidupnya sulit dikendalikan. Pluralisme sosial dan budaya dikhawatirkan melahirkan gejolak politik, menghambat integrasi politik dan pembangunan. Karena itu, otoritarianisme
partai bukan hanya tunggal tetapi menganggap oposisi sebagai sebuah
pengkhianatan. Bahkan, organisasi sipil harus bernaung dibawahnya
sebagai pembimbing, pengerak, menekankan perpaduan dan kepentingan
partai dengan masyarakat secara menyeluruh.
Adapun sistem dwi-partai dimaksudkan adanya dua partai atau
beberapa partai—biasanya dengan peranan dominan dua partai. Partai
pemenang pemilu bertanggungjawab sebagai penguasa. Sebaliknya bagi
partai yang kalah menjalankan fungsinya sebagai oposisi. Pengalaman ini
dapat dilihat di Inggris. Partai Konservatif, Buruh dan Liberal saling
bersaing menjadi penguasa dan oposisi. Pemilu atau wakil-wakil yang
dipilih berdasarkan sistem distrik, yang mengandalkan sigle-member constituency. Hal ini akan berlangsung sejauh social homogeinity, political consensus dan historical countinuity saling dijaga bersama.
Dalam sistem distrik pemilihan ditentukan berdasarkan distrik-distrik
yang jumlahnya sama dengan jumlah kursi yang diperebutkan (tersedia) di
parlemen. Tiap distrik hanya memilih seorang wakil untuk mewakili
distrik bersangkutan di parlemen. Calon yang terpilih adalah calon yang
memperoleh suara terbanyak di distrik itu. Kelebihan suara tidak
ditransfer untuk calon lain. Karena itu sistem yang dipilih mengutamakan
si calon, bukan partai (Fiks, 2006:50).
Berbeda dengan sistem multi-partai, dimana alasan yang mendasar adalah
keberagaman menjadi pendorong banyak partai untuk menyalurkan
ikatan-ikatan terbatas (primordial)—maka dianggap satu keniscayaan.
Dalam sistem ini kekuasaan lebih bertumpu pada legislatif. Eksekutif
lemah dan ragu-ragu apalagi tidak ada partai yang cukup kuat untuk
membentuk “pemerintahan sendiri”. Sistem pemilu yang digunakan adalah sistem pemilihan berimbang (proporsional refresentatif).
Sistem pemilihan ini dibagi atas daerah-daerah pemilihan dan komposisi
kursi dibagi berdasarkan kursi yang tersedia di parlemen untuk
diperebutkan di daerah tersebut. Kursi dibagi berdasarkan imbangan
jumlah penduduk. Jika 1000 suara untuk satu kursi maka setiap partai
memperoleh satu kursi jika mencapai jumlah tersebut. Bila suara untuk
satu calon terpenuhi maka kelebihannya akan ditransfer pada urutan
berikut dan seterusnya. Dalam sistem ini yang dipilih tanda gambar,
bukan calon (Fiks, 2006:51).
Kita di Indonesia, India, Perancis dan Belanda menggunakan sistem ini.
Koalisi partai atau pemerintahan koalisi sering terjadi. Namun dapat
saja ditarik ketika kompromi atau kepentingan mencair. Menariknya,
demokrasi yang berkembang pasca reformasi telah terciptanya ruang dan
kebebasan politik. Liberalisasi dalam demokrasi kita ditandai tumbuh dan
lahirnya partai politik cukup subur. Pada tahun 2004 sebanyak 50 Parpol
ikut penyaringan namun hanya 24 Parpol lulus verifikasi dan ikut
sebagai kontestan pemilu. Sumber KPU (2009) menjelaskan 34 Parpol lolos
verifikasi ditambah 6 Parlok di Aceh. Menjelang Pemilu 2014 nanti
diketahui ada 14 Parpol Baru akan diverifikasi—sejauh ini baru Parpol
Nasdem dinyatakan lolos verifikasi.
Kita menganut sistem multi-partai dan pemilu sistem proporsional dimana
kelemahan dan kebaikan dalam kedua sistem itu terus dibenahi secara
periodik melalui aturan (perundang-undangan) pemilu. Undang-undang baru
No. 2/2011 tentang Pemilu menjelaskan semua partai mesti ikut
verifikasi, baik yang lolos “parlementary thereshold” maupun
yang tidak lolos, serta partai yang belum pernah ikut pemilu.
Disyaratkan Kepegurusan Parpol harus ada di 33 Propinsi, 75 % di
Kab/Kota dan 50 % di Kecamatan. Biarpun kontestasi pemilu kita melalui
sistem proporsional masih diperdebatkan namun itu masih cukup baik dan
perlu kajian lebih mendalam menjawab seribu macam tantangan dan dinamika
yang kita hadapi dalam berdemokrasi.
Hanya saja, ke depan, persoalan rekruitmen calon wakil rakyat,
personalitas, kapasitas dan otoritas partai dalam menentukan calon
menjadi persoalan penting. Seorang wakil rakyat memang perlu dikenal
luas oleh pemilih. Namun bukan saja dikenal tapi juga sudah mapan secara
ekonomi sehingga tidak menjadi koruptor dan lalai sebagai wakil
rakyat. Hal ini krusial karena pemilih (konstituen) sepertinya tidak
terikat dengan calon melainkan dengan dengan partai. Akibatnya wakil
rakyat yang duduk di legislatif kurang responsif terhadap kepentingan
rakyat, terutama jika tidak sejalan dengan platform atau kebijakan partai.
Kemudian, perilaku “elit partai” dalam menentukan calon gubernur, bupati dan walikota serta pemilihan calon presiden masih menimbulkan kasuk-kasuk, kolusi dan maney politic. Tak
heran, setelah Aceh memperkenalkan calon perseorangan (non-partai)
menjadi alternatif di propinsi lain untuk pemilihan gubernur, bupati dan
walikota. Mencuatnya calon non-partai dalam kontestasi Pilkada karena
partai belum mampu mereposisi peran dan fungsinya dengan baik. Disamping
itu tradisi demokrasi kita memposisikan “oposisi setengah hati”.
Butuh Oposisi Politik
Hal yang mengembirakan sebenarnya adalah pemilu presiden—dimana partai pemenang dapat mengusung calon presiden secara mandiri. Ironisnya, partai pemenang cenderung kurang percaya diri. Pemerintahan SBY-Bodieono semestinya tidak perlu berkoalisi karena Partai Demokrat memperoleh suara mayoritas. Sikap Partai Demokrat sepertinya diratapi sekarang—dimana koalisi yang dibentuk tidak bisa dipelihara kesetiaannya. Gonjang-ganjing rapuhnya koalisi disetrum hebat oleh media. Kasus Century, Kasus Pajak dan sekarang penolakan Kenaikan Harga BBM sebagai bukti koalisi tidak bisa diharap. Rapuhnya koalisi juga oleh perilaku elit demokrat yang tersandera kasus dan isu korupsi—sedang menyeruak.
Hal yang mengembirakan sebenarnya adalah pemilu presiden—dimana partai pemenang dapat mengusung calon presiden secara mandiri. Ironisnya, partai pemenang cenderung kurang percaya diri. Pemerintahan SBY-Bodieono semestinya tidak perlu berkoalisi karena Partai Demokrat memperoleh suara mayoritas. Sikap Partai Demokrat sepertinya diratapi sekarang—dimana koalisi yang dibentuk tidak bisa dipelihara kesetiaannya. Gonjang-ganjing rapuhnya koalisi disetrum hebat oleh media. Kasus Century, Kasus Pajak dan sekarang penolakan Kenaikan Harga BBM sebagai bukti koalisi tidak bisa diharap. Rapuhnya koalisi juga oleh perilaku elit demokrat yang tersandera kasus dan isu korupsi—sedang menyeruak.
Lalu, kita bertanya ada apa dengan koalisi? Setidaknya hal ini
dipengaruhi, pertama liberalisasi politik pasca reformasi cenderung
tidak stabil. Dampak liberalisasi meretasnya kesempatan dan peluang
merebut sumberdaya-sumberdaya politik. Tantangannya terkait distribusi
dan agregasi kepentingan tidak mampu menyebar luas dan terbatas—bisa
berakibat munculnya antagonisme politik berkepanjangan. Tentu,
wujudnya oposisi dikhawatirkan partai pemenang. Kedua, budaya politik
kita masih prematur (belum mampuni). Ini karena partai yang kalah
cenderung mencari posisi aman untuk merawat kepentingan karena politik
kita masih high cost. Satu indikatornya kampanye tidak mungkin dilakukan tanpa sumber daya dan uang. Maka negara dirampok ramai-ramai.
Tradisi “money politic” masih rentan dan budaya politik kita
belum mampuni secara kasat mata menjadi motif awal merengsek masuk
koalisi baik saat mengusung kandidat presiden atau belakangan masuk
koalisi demi eksistensi dan jatah beberapa menteri di kabinet. Sikap
inklusif partai pemenang karena belum kesastria menjadi hero
yang jantan dan santun. Masing-masing mencari posisi aman demi alasan
kestabilan politik dan keberlanjutan pembangunan. Berbeda dengan rezim
orde baru yang juga menganut sistem kompetitif sama halnya dengan rezim
reformasi sekarang, namun rezim orde baru dalam prakteknya sangat
integratif. Mengapa demikian?
Tentu, Soeharto belajar di masa orde lama—dimana Soekarno mengurus
negara dengan banyak partai politik cukup rumit, termasuk adanya partai
lokal diawal kemerdekaan Indonesia. Feith Herbert (1999) mencatat
beberapa partai lokal saat itu dikenal partai kedaerahan atau kesukuan,
diantaranya Partai Gerindo Yogyakarta, Partai AKUI Madura, Partai Rakyat
Desa Jawa Barat, dan Partai Rakyat Indonesia Merdeka Jawa Barat,
Gerakan Pilihan Sunda (Jawa Barat), Partai Tani Indonesia (JawaBarat),
Gerakan Banteng (Jawa Barat), Partai Persatuan Indonesia Raya (Lombok,
Nusa Tenggara Barat) dan Partai Persatuan Daya Kalimantan Barat.
Kekhawatiran Soekarno dan Soeharto beralasan. Isu nasionalisme saat itu
belum tuntas. Karena itu, Soeharto tampil dengan manifesto demi
mencegah disintegrasi. Lalu, membagun fusi partai dengan
mengabungkan partai-partai yang terserak oleh latarbelakang historis,
aliran, visi-misi, tujuan, program dan berbagai kepentingan yang ingin
diperjuangkan, serta atas dasar ideologis digabungkan menjadi tiga
partai, yaitu PPP, Golkar dan PDI. Masing-masing disimbiosiskan menjadi
partai atau golongan sprituil, golongan karya dan golongan nasionalis
yang menurut Soeharto bukan untuk melenyapkan partai melainkan untuk
memperjelas indentitasnya (Ipong, 1997:90-95).
Menjustifikasi kehendaknya Soeharto tidak lain sebenarnya memenangkan kekuasaanya dengan sangat hegemonic. Ia memakai strategi ABG, yaitu ABRI (TNI), Birokrasi dan Golkar, yang kemudian dikemas dalam “trilogi pembangunan”
yaitu mendasarkan pada perioritas pembangunan ekonomi, keamanan dan
stabilitas politik. Sayangnya strategi ini dikendalikan sesuai selera
rezim—dimana hegemoni kekuasaan merasuki berbagai strata, yang berujung
terjadinya fragmentasi sosial, fragmentasi politik dan fragmentasi
ekonomi. Persoalan etnis, agama, budaya, mobilitas penduduk, kesehatan,
moralitas dan publik menyebabkan terjadinya fragmentasi sosial. Isu-isu
pemberdayaan pemerintahan lokal atau demokrasi lokal, clean government terabaikan. Pola hegemoni kekuasaan seperti ini menyebabkan terjadinya fragmentasi politik.
Sementara fragmentasi ekonomi karena adanya ketimpangan pendapatan dan
distribusi, meningkatnya pengangguran dan kemiskinan, serta monopoli
usaha oleh segelintir pihak. Akibat terlalu politis, dimana Golkar
terlalu ketat meraih kemenangan, pendekatan keamanan tertutup dan
refresif; militer sebagai katalisator, birokrasi sebagai instrumen
kekuasaan, kemudian kebijakan publik tidak transparan, rendahnya
implementasi HAM, lembaga peradilan kurang independen dan politik
sentralisasi—menyebabkan munculnya gelombang protes atau gerakan
reformasi, dimana gerakan mahasiswa dijadikan ujung tombak.
Mencuatnya gelombang reformasi karena hegemoni kekuasan rezim orde baru
berlangsung lama dan politik oposisi tidak menjadi tradisi dalam
berdemokrasi ketika itu. Pada hematnya demokrasi yang baik dimulai oleh
adanya pengakuan dan penghargaan antara partai yang kalah dan partai
yang menang lalu menjadikan oposisi sebagai satu keniscayaan. Ke depan,
siapapun partai pemenang harus mampu tampil lebih berani, sehingga
perkembangan demokrasi kita lebih terukur, dinamis dan berdaya. Jadi,
partai politik, pemilu dan kampanye yang berakhir dengan kemauan rakyat
mencoblos (memilih) bukanlah sebuah arus yang semu.
Selebihnya demokrasi kita butuh oposisi, yang hanya memungkinkan
dilakukan oleh partai kader namun berbasis massa, proyektif dan
progresif serta gerakan sipil pro-demokrasi menjadi inovatornya. Partai
kader berbasis massa maksudnya partai yang bukan hanya diisi oleh
individu-individu yang cerdas tapi memiliki komitmen yang tinggi
memperjuangkan demokrasi yang sesungguhnya, yaitu mampu mensejahterakan
rakyatnya. Disebut partai kader dimana anggota-anggotanya taat,
memajukan organisasi dan berdisiplin tinggi. Pemimpin partai biasanya
menjaga kemurnian doktrin politik dan karenanya sangat selektif dalam
merekruet anggota-anggotanya. Tak heran anggota yang menyeleweng dari
garis (ideologi partai) dipecat.
Sedangkan Partai Massa mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan
jumlah anggota. Bisa jadi ia didukung oleh berbagai aliran politik dalam
masyarakat yang sepakat memperjuangkan suatu program yang biasanya luas
dan agak kabur. Namun mudah terancam lemah bila pihak-pihak didalamnya
memaksa kepentingan masing-masing dan jika memisahkan diri biasanya
membuat partai baru. Gejala terakhir ini telah berlangsung dalam
demokrasi kita dimana partai politik cukup mudah didirikan oleh
siapapun. Sehingga kesannya transisi demokrasi Indonesia berhasil
dipermukaan namun dalam makna sesungguhnya perlu reposisi monumental.
Selebihnya, kita berharap Aceh menjadi pengalaman baru, dimana transisi
demokrasi dan perdamaian Indonesia dibekas wilayah konflik ini perlu
ditegakkan dengan ketulusan. Kearifan dan “demokrasi lokal” sedang tumbuh memenuhi hajat hidupnya sebagai sebuah keniscayaan untuk menyelamatkan bangsa dan negara.
Urgensi Demokrasi Lokal
Sejak menggeliatnya agenda reformasi dalam banyak hal pemerintahan nasional telah merancang tatakelola pemerintahan daerah dengan konsep otonomi daerah. Agenda demokrasi lokal ini sangat krusial untuk membangun Indonesia seutuhnya, sejahtera lahir dan batin. Berbeda dengan demokrasi lokal di Aceh bukan saja sekedar otonomi khusus tetapi direkatkan dengan sebuah instrumen politik—yaitu adanya partai politik lokal (parlok). Inilah pilihan pemerintahan nasional untuk Aceh, mengapa demikian? Pemerintahan nasional dan masyarakat Aceh menyadari Aceh sebagai sebuah bangsa yang berdaulat atas kemerdekaan Indonesia. Dalam sejarahnya senantiasa siap menjadi oposisi. Gerakan pembebasan atau gerakan kemerdekaan yang diperjuangkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) puluhan tahun karena ada persoalan mendasar. Masyarakat Aceh berjuang demi identitasnya, menentang ketidakadilan, dipinggirkan dan dizalimi oleh rezim-rezim dalam rentang waktu yang cukup lama.
Sejak menggeliatnya agenda reformasi dalam banyak hal pemerintahan nasional telah merancang tatakelola pemerintahan daerah dengan konsep otonomi daerah. Agenda demokrasi lokal ini sangat krusial untuk membangun Indonesia seutuhnya, sejahtera lahir dan batin. Berbeda dengan demokrasi lokal di Aceh bukan saja sekedar otonomi khusus tetapi direkatkan dengan sebuah instrumen politik—yaitu adanya partai politik lokal (parlok). Inilah pilihan pemerintahan nasional untuk Aceh, mengapa demikian? Pemerintahan nasional dan masyarakat Aceh menyadari Aceh sebagai sebuah bangsa yang berdaulat atas kemerdekaan Indonesia. Dalam sejarahnya senantiasa siap menjadi oposisi. Gerakan pembebasan atau gerakan kemerdekaan yang diperjuangkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) puluhan tahun karena ada persoalan mendasar. Masyarakat Aceh berjuang demi identitasnya, menentang ketidakadilan, dipinggirkan dan dizalimi oleh rezim-rezim dalam rentang waktu yang cukup lama.
Asal mula konflik Aceh sebagaimana digambarkan Antony Reid (2005),
kemudian mosaik konflik Aceh; kepemimpinan, ideologi dan gerakan yang
digambarkan Isa Sulaiman (2006), sampai imajinasi etno-nasionalisme
sebagaimana digambarkan Taufan Damanik (2010) cukup beralasan mengapa
Aceh beroposisi. Dimulai dari Otto Syamsuddin (2001) dari maaf ke panik
Aceh dan catatan-catatan yang terserak lahirnya ativisme pro-demokrasi
sejak 1997-2005 cukup melengkapi oposisi Aceh dengan pemerintahan
nasional. Gerakan sipil menjadi energi produktif mereduksi persoalan
akibat konflik berkepanjangan dengan cara merekat jaringan laba-laba,
yang kemudian cukup populis dikenal “gerakan referendum”.
Somasi ini diputuskan dalam sebuah Kongres Mahasiswa, Pemuda dan
Masyarakat Aceh Serantau (KOMPAS), yang meresolusi penyelesaian sengketa
antara GAM dan Pemerintahan Nasional di Jakarta melalui jajak pendapat
rakyat atau referendum dibawah pengawasan masyarakat Internasional.
Gerakan pembebasan dan gerakan sipil saat itu telah membuka warna Aceh
di mata dunia. Sekian lama penderitaan Aceh akhirnya semakin terbuka
ketika dihantam tsunami. Ini menjadi modal dan fakta sejarah yang
mengemparkan dunia sehingga berbagai persoalan yang membelunggu beberapa
dekade terburai dalam semangat baru. Perjanjian damai dibicarakan—yang
berujung disepakatinya MoU Helsinki sebagai sebuah konsensus politik
yang mengikat. Dalam konsensus ini Aceh dikukuhkan haknya mengatur dan
menyelenggarakan pemerintahannya sendiri dibawah Undang-Undang
Pemerintahan Aceh (UUPA). MoU Helsinki dan UUPA mesti dijalankan
seutuhnya.
Aceh bukan hanya berkesempatan mengatur dirinya sendiri tetapi secara
signifikan dapat memperkuat otoritas dan identitas politiknya. Aceh
perlu memaksimalkan pengembangan demokrasi lokal demi menjawab beban
sejarah dan meneguhkan dirinya lebih kuat lagi sebagai kesejatian untuk
Indonesia. Kesejatian demokrasi lokal di Aceh melalui identitas politik
lokal atau partai politik lokal (parlok) bertujuan mengukuhkan
integrasi politik dalam semangat baru (neo-nasionalisme), yang saling percaya dan ihklas. dr. Zaini Abdullah mengatakan; karena Aceh Indonesia Ada”. UUPA 2006 harus menjadi perekat rasa ke-indonesia-an. Tidak ada Indonesia tanpa Aceh, tidak ada (Beuranda IV Maret 2012).
Membaca pikiran dr. Zaini Abdullah sebagai tokoh pendiri GAM dan
perdamaian, maka tujuan partai lokal maupun partai nasional (parnas) di
Aceh dapat disarikan, pertama memperjuangkan perdamaian, hajat hidup,
harkat dan martabat rakyat Aceh. Kedua, mewujudkan stabilitas sosial
politik dan pembangunan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Aceh.
Ketiga, bertujuan agar Aceh mampu membangun khasanah; jati diri,
menjunjung tinggi nilai-nilai luhur kebangsaan; demokratisasi, kearifan
lokal, sosial budaya dan identitas politik, kemandirian serta kemauan
kuat dan berdaya dalam sejarah peradabannya.
Dengan demikian arah perkembangan demokrasi lokal dan keberadaan partai
politik lokal di Aceh secara subtansi memagari keinginan untuk menuntut
kemerdekaan dari pemerintahan nasional. Hal ini dikarenakan masyarakat
secara terbuka dan aktif terlibat dalam proses pemilihan pemimpinnya,
tanpa campur tangan pemerintah pusat. Muhammad Djafar (2009:123) dalam
proposal desertasinya mengatakan bahwa karakteristik kepemimpinan
politik yang dihasilkan akan mengikuti selera politik masyarakatnya,
sehingga peran pemerintahan pusat hanya menjadi penegas dari hasil
tersebut. Semoga saja bisa. Wallahu’aklam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar