Selasa, 19 Juni 2012

Eksistensi Indonesia di Gugat

Muhajir Juli I The Globe Journal
Selasa, 19 Juni 2012 14:50 WIB
Acara bedah buku Aceh: antara cinta dan keangkuhan.
 Foto: Muhajir Juli | The Globe Journal I Acara bedah buku Aceh: antara cinta dan Keangkuhan


 
Bireuen - Eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara bangsa (nation state) di gugat habis-habisan dalam bedah buku karya Baharuddin  AR, yang berlangsung di aula M.A. Jangka, Universitas Almuslim, Bireuen, Selasa (19/6). Buku ini berjudul Aceh: antara cinta dan keangkuhan.
 
Drs. Iswadi, M. Hum, dosen Bahasa Inggris Unimus, dalam bedahnya menyebutkan, kelompok etnik yang ratusan jumlahnya di nusantara, harus meleburkan diri ke dalam warga bangsa yang bernama Indonesia. Anehnya, berbagai warga kelompok etnik yang merupakan substansi dari pada warga Indonesia itu telah dinafikan tidak ada. Yang ada hanyalah warga bangsa Indonesia.

Padahal, Indonesia hanya ada dalam konsep politik, dimana substasi warganya adalah berbagai kelompok etnik seperti Aceh, Jawa, Minang dan lain sebagainya. Padahal kesemua kelompok etnik tersebut telah ada jauh sebelum negara Republik ini berdiri.

Dalam paparannya, Iswadi juga menambahkan, penulis (Baharuddin AR-red) menyebutkan, nampaknya keadaan seperti tidak disadari oleh berbagai warga kelompok etnik itu sendiri, karena dominasi politik Indonesia yang sangat kuat. Bahkan politik telah menajdi “panglima” yang harus dipatuhi, meskipun harus menelan korban jiwa yang semuanya itu demi membangun rasa nasionalisme ke-Indonesiaan.

Dalam pandangan Iswadi, penulis dalam bukunya juga memaparkan bahwa Indonesia telah menggunakan kekuatan militer sebagai instrumen politik untuk menggelar berbagai jenis operasi di Aceh. Hal inilah yang kemudian telah menghancurkan berbagai sendi kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan agama.

“Saya menangkap, penulis dalam bukunya juga memaparkan bahwa Indonesia telah menggunakan kekuatan militer sebagai instrumen politik untuk menggelar berbagai jenis operasi di Aceh. Hal inilah yang kemudian telah menghancurkan berbagai sendi kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan agama,”kata Iswadi saat memaparkan hasil bedah yang dia lakukan.

Masih dalam pandangan Iswadi, dalam setiap kata yang di olah, penulis juga ingin menyampaikan bahwa Aceh yang secara integral merupakan bagian dari Indonesia, telah mendapatkan perlakuan yang tidak lebih adalah manifestasi penjajahan di negeri sendiri. Inilah mungkin yang mengilhami Baharuddin untuk menyebutkan sebagai sebuah keangkuhan.

Lain Iswadi lain pula paparan yang disampaikan oleh pembedah lain yaitu Taufik Abdullah,MA, yang merupakan dosen di Fakultas Fisipol Unimal. Dihadapan peserta bedah buku, Taufik menyebutkan bahwa penulisan buku hasil karya Baharuddin belumlah sistematis. Cerita satu ke lainnya masih melompat-lompat.

Taufik juga menilai bila buku tersebut belumlah menjadi kajian akademis yang mendalam. Tapi karya tersebut masuk dalam kategori karya ilmiah populer, karena mengungkapkan fakta yang harus di kaji lebih mendalam.
Selain itu, Taufik juga mengkritik judul. Menurutnya, pemberian judul sedemikian rupa, merupakan beban psikologis dari penulis itu sendiri.

Baharuddin AR, dalam sambutannya mengatakan, buku yang ditulisnya menceritakan banyak hal. Namun dari semua itu, dapat diambil dua kesimpulan yang di bahas. Yaitu cinta dan keangkuhan. Menurut Baharuddin, bagi orang Aceh, cinta adalah sebuah kekuatan. Belanda dan Jepang bisa dikalahkan oleh orang Aceh, bukan dengan senjata dan kekuatan, tapi dengan cinta.

Pun demikian, dia melihat, akhir –akhir ini, kekuatan cinta itu telah memudar dari sebagian besar orang Aceh. Kondisi terkini, masuk ke masjid saya, sudah tidak lagi mau bertegur sapa, sebab yang dijumpai adalah kelompok yang berseberangan pemahaman dan tidak sependapat.

Bedah buku ini dilaksanakan oleh Bandar Publishing Banda Aceh bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unimus. Mukhlisuddin Ilyas yang merupakan Direktur penerbit tersebut, kepada The Globe Journal mengatakan, bedah buku ini dilaksanakan dalam rangka pameran buku yang direncanakan akan dilaksanakan di seluruh kampus yang ada di Aceh.

Menurutnya, pameran seperti ini seharusnya dilakukan oleh pemerintah daerah, yang merupakan pihak yang bertanggung jawab langsung terhadap upaya peningkatan sumber daya manusia rakyat. Pihak swasta seperti Bandar Publishing hanyalah elemen kecil yang punya kemampuan terbatas.

Sumber : 
http://theglobejournal.com/pendidikan/eksistensi-indonesia-di-gugat/index.php

Rabu, 06 Juni 2012

Generasi Muda Buta Sejarah Aceh Kata Mahasiswa Universitas Jabal Ghafur Sigli

Himpunan Mahasiswa Sejarah (Himmaseja) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jabal Ghafur-Sigli mengelar seminar sejarah Aceh, Sabtu (02/06/12) di kampus setempat.

Yusrizal Ketua Umum Himmaseja kepada the atjehpost mengatakan bahwa seminar sejarah Aceh bertujuan agar mahasiswa Jabal Ghafur mendapat penalaran sejarah Aceh, baik dulu dan sejarah yang sedang berlangsung sekarang. Saat ini, mahasiswa menyadari pengetahuan dan minat tentang kesejarahan Aceh memudar. Generasi Muda Aceh semakin buta akan sejarah dan peradabannya kata Yusrizal.

Seminar bertemakan “Sejarah Aceh dan Subtansi dalam Pemerintah sekarang”, menghadirkan narasumber Tgk. Yahya Muaz Sekretaris Jenderal Partai Aceh, Taufik Abdullah, MA Dosen Ilmu Politik FISIP Unimal dan Zulkifli AG Dosen Universitas Jabal Ghafur.

Dalam pemaparannya Taufik Abdullah mengatakan bahwa kita dan generasi muda sekarang miskin sekali pemahaman sejarah. Memahami proses sejarah dan periodisasi sejarah sesuai konteks dan perkembangannya cukup penting. Dengan demikian generasi muda mendapat pemahaman sejarah tempo dulu, memahami kedudukan sejarah kekinian dan ke depan mampu menterjemahkan kepentingan peradabannya dengan baik.

Tanpa memahami sejarah kata taufik maka generasi muda khususnya mahasiswa kurang mampu berbenah dan membangun peradaban Aceh lebih kuat dan bermartabat. Pemahaman sejarah masa lalu dan konteks kekiniaan pasca perdamaian perlu ditulis apa adanya dan dikonstruksikan dengan tepat agar perdamaian dan pembangunan lebih maju dari sekarang. Pemerintah Aceh sekarang benar-benar dapat mengendalikan subtansi perdamaian dengan baik, tulus dan bersungguh-sungguh.

Sementara Tgk. Yahya Muaz menjelaskan kronologis sejarah Aceh tentang bagaimana masyarakat Aceh dulu dan bagaimana masyarakat Aceh sekarang? Peradaban Aceh dulu kuat dan disegani karena tatakelola pemerintahan dilandasi pada kekuatan hukum. Supremasi hukum di Aceh lebih tua dari Kerajaan Inggris. Kegemilangan Aceh juga ditopang oleh tatalaksana pelabuhan dan pelayaran, sehingga menguasai perdagangan serta mampu menjalin hubungan diplomatik yang harmonis dengan kerajaan dunia.

Pada era kolonialisme, Aceh tampil sebagai kekuatan utama di nusantara. Biarpun Aceh dihadapkan perang panjang namun tetap tangguh menjelang berakhirnya kolonialisme. Sejarah panjang Aceh semakin mengkristal ketika pada tahun 1945 s.d 1950 tampil sebagai penentu lahirnya negara baru bernama Indonesia. Siaran radio rimba raya, blokade medan area pada agresi pertama dan kedua dimana masyarakat Aceh menjadi kekuatan bagi kemerdekaan Indonesia. Tidak cukup waktu dan panjang untuk menjelaskan peran Aceh untuk kemerdekaan Indonesia. Karena itu Aceh menjadi daerah khusus dalam NKRI.  Sejarah dan peradaban Aceh yang panjang dan menjadi wilayah khsusus tak terbantahkan dalam perang kemerdekaan Indonesia kata Tgk. Yahya Muat.

Sekretaris jenderal Partai Aceh ini juga memaparkan sebab-sebab pergolakan politik keacehan dalam keindonesiaan. Perjuangan DI/TII, lahirnya Ikrar Lamteh, perjuangan GAM dan gerakan referendum. Seterusnya, Tgk Yahya menjelaskan subtansi pemerintahan Aceh pasca MoU Helsinki dan upaya-upaya implementasi UUPA dijelaskan cukup menarik melalui infokus (layar tembak).

Pada sesi tanya jawab mahasiswa cukup antusias bertanya dan menyampaikan pendapatnya. Diantaranya Zulkifli salah satu peserta seminar dengan emosional mengatakan Aceh adalah “kepala Indonesia”.  Aceh akan tetap menjadi modal bagi keutuhan Indonesia jika Aceh benar-benar terlaksananya “self goverment”. Cukup mendesak katanya pemerintah Aceh perlu menyelesaikan berbagai qanun-qanun kewenangan dan kekhususan Aceh. Identitas Aceh seperti bendera, lambang dan himne agar segera diselesaikan sebagai bukti Aceh memiliki kekhususan dalam NKRI kata zulkifli.

Peserta lainnya Akbar mengatakan Aceh akan dihadapkan pada krisis identitas jika tidak berpegang teguh pada komitmen perdamaian. Agar tidak mengalami krisis identitas maka rakyat Aceh mesti belajar pada akar sejarahnya. Sejarah Aceh tempo dulu dan sejarah Aceh untuk kemerdekaan Indonesia bukanlah dogeng. Ini perlu dipahami dengan benar oleh pemerintah sekarang baik di Aceh maupun di Jakarta agar konflik tidak berulang kembali.

Sementara Zulkifli AG Dosen Unigha mengarisbawahi isu-isu yang berkembang dalam seminar ini. Pertama, agar Aceh tidak mengalami krisis identitas maka kebutuhan terhadap lembaga penelitian sejarah Aceh cukup penting. Kedua, sejarah panjang Aceh sampai perang kemerdekaan Indonesia, termasuk bagaimana perdamaian dicapai saat ini  perlu dipahami generasi muda Aceh agar mereka siap membangun lebih baik. Ketiga, untuk tujuan ini perlu adanya kurikulum sejarah Aceh diajarkan pada sekolah-sekolah dasar sampai menengah. Mata pelajaran sejarah yang diajarkan selama ini sepertinya terputus padahal Aceh menjadi kekuatan utama kemerdekaan Indonesia. 

Sumber : 
Panitia Seminar Sejarah Aceh, Himmaseja FKIP Unigha, 05 Juni 2012