Kamis, 16 Februari 2012

DPRA Gugat Putusan MK

Minggu, 9 Oktober 2011 10:20 WIB
JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan elemen sipil yang menamakan diri Forum Perjuangan Keadilan Rakyat Aceh (Fopkra) melayangkan gugatan terhadap putusan judicial review Pasal 256 UUPA ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan kedua lembaga tersebut--DPRA dan Fopkra--didaftarkan secara terpisah, Jumat (7/10) dini hari melalui website www.mahkamahkonstitusi.go.id

Sehari sebalumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengatakan, Presiden tidak memiliki wewenang untuk mengumumkan ditunda atau dilanjutkannya Pilkada Aceh. Sebab yang berwenang untuk itu adalah KPU/KIP.

Irwandi juga mengutip penegasan Presiden yang sangat menghormati keputusan MK tentang diperbolehkannya calon independen dalam pemilukada Aceh. “Tapi apabila ada yang tidak menerima hasil judicial review MK itu, Presiden SBY mempersilakan digugat kembali ke MK,” kata Irwandi mengutip penegasan Presiden SBY.

Dalam perjalanan selanjutnya, Pilkada Aceh tetap dilanjutkan oleh KIP, namun hingga batas akhir pendaftaran calon kepala daerah/wakil kepala daerah untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, Jumat (7/10) pukul 00.00 WIB, Partai Aceh (PA) tidak mendaftarkan calon mereka.

Gugatan yang dilayangkan ke MK oleh DPRA maupun Fopkra merupakan reaksi atas sikap Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat dan KIP Aceh yang tetap melaksanakan seluruh tahapan pilkada tanpa mempertimbangkan keberatan DPRA dan elemen sipil.

Ketua DPRA, Drs H Hasbi Abdullah yang dihubungi Serambi di Jakarta, Sabtu (8/10) membenarkan pihaknya telah mendaftarkan gugatan terhadap putusan MK Nomor 35/PUU-VIII/2010 Tanggal 10 Desember 2010 terkait Pasal 256 UUPA yang meloloskan calon independen pada Pilkada Aceh. “Putusan tersebut cacat hukum dan keliru karenanya harus dinyatakan tidak berlaku,” tegas Hasbi Abdullah.

Ia mengatakan, putusan MK tentang permohonan judicial review Pasal 256 UUPA sama sekali tidak pernah melibatkan DPRA, sebagaimana diamanatkan Pasal 269 ayat (3) UUPA, yang menyatakan bahwa setiap perubahan terhadap isi UUPA harus dikonsultasikan dan mendapat pertimbangan DPRA.

Hasbil Abdullah menegaskan, sesuai isi Pasal 18B (1) UUD ’45, negara mengakui dan menghormati kekhususan suatu daerah seperti Aceh yang diatur dengan undang-undang tersendiri. “UUPA adalah undang-undang khusus Aceh, dan itu mendapat jaminan dan pengakuan konstitusi,” katanya.

Hasbi mendesak MK memanggil kembali pihak terkait termasuk DPRA. “Kami menyatakan siap menghadapi panggilan MK setiap saat untuk berkonsultasi dan memberikan masukan dalam penyelesaian masalah tersebut,” tukasnya.

Putusan judicial review MK yang dilakukan secara salah itu, lanjut Hasbi telah memberi imbas merugikan Aceh baik dari segi politik, pemerintahan, dan sosial kemasyarakatan, termasuk tereduksinya nilai perdamaian yang telah berhasil dibangun.

Gugatan Fopkra
Dalam waktu yang hampir bersamaan, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Fopkra melalui surat Nomor 03/DPP/X/2011 Tanggal 7 Oktober 2011, juga melayangkan gugatan ke MK terkait putusan judiciali review Pasal 256 UUPA.

Ketua Umum Fopkra, Fazloen Hasan yang dihubungi terpisah mengatakan, gugatan didaftarkan melalui website MK. “Salinan aslinya akan kami serahkan Senin,” kata Fazloen.

Fazloen menegaskan, putusan judicial review MK terhadap Pasal 256 UUPA bertentangan dengan Pasal 18B UUD 1945 Pasal 18B. “Keputusan tersebut semakin terbukti mengancam perdamaian dan logika hukum yang digunakan jelas sekali mengabaikan kekhususan dan kewenangan Aceh dalam NKRI. Ini bisa mengancam disintegerasi bangsa. Karena itu MK harus mencabut putusan judicial review tersebut,” tandas Fazloen.

Ia menjelaskan, MoU Helsinki dan UUPA merupakan konstruksi baru nasionalisme yang lahir akibat konflik laten dan berkepanjangan. MoU Helsinki adalah kontrak politik/sosial dan UUPA sebagai hukum primer (Undang-undang Dasar) yang mesti dihormati dan dijunjung tinggi sebagai perekat nasionalisme.

Ketua Umum Fopkra itu menyatakan agar MoU dan UUPA dijalankan dengan sempurna dan seutuhnya. “Jika pemerintah RI mengkhianati kesepakatan, kami komponen rakyat sipil menuntut referendum dan meminta pertanggungjawaban Uni Eropa,” tukas Fazloen dalam nada tinggi.

Fazloen menyayangkan tetap dilaksanakannya tahapan Pilkada Aceh meski banyak pihak menyuarakan penolakan karena bertentangan dengan MoU dan UUPA. “Tapi suara-suara penolakan tidak pernah didengar KIP dan KPU. Benar-benar sebuah sikap sangat arogan. Padahal semua kita tahu ada persoalan regulasi dalam pilkada. Tapi kenapa tetap dipaksakan. Ada apa ini?” demikian Fazloen.(fik)

Editor : bakri
Sumber :  http://aceh.tribunnews.com/m/index.php/2011/10/09/dpra-gugat-putusan-mk

MK: Silakan Gugat


 Selasa, 11 Oktober 2011 12:26 WIB
111011foto.14_.jpg
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menjabat tangan Ketua DPRA Drs Hasbi Abdullah dalam pertemuan di Kantor MK, Jakarta, Senin (10/10). Pertemuan itu juga diikuti Ketua DPD PDI Perjuangan H. Karimun Usman (paling kiri), Ketua Forum Perjuangan Keadilan Rakyat Aceh (Fopkra) Fazloen Hasan (dua dari kiri), dan Sekretaris Umum Fopkra, M nasir kanan)
SERAMBI/FIKAR W EDA



JAKARTA - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, mempersilakan DPRA dan Forum Keadilan Perjuangan Rakyat Aceh (Fopkra) melakukan gugatan terhadap putusan judicial review MK tentang Pasal 256 UUPA yang meloloskan calon independen.

“Silakan daftarkan gugatan. Nanti saya akan baca keseluruhannya seperti apa,” ujar Mahfud saat menerima Ketua DPRA Hasbi Abdullah dan delegasi Pengurus Fopkra yang diketuai Fazloen Hasan, di Kantor MK, Jakarta, Senin (10/10). Hadir juga dalam pertemuan ini Ketua DPD PDI Perjuangan Aceh, H Karimun Usman.

Terkait permintaan agar MK membatalkan putusannya, Ketua MK Mahfud MD menyatakan bahwa MK tidak bisa membatalkan putusan yang sudah dikeluarkan. “Putusan MK itu final dan mengikat. Tidak bisa dibatalkan,” kata Mahfud menanggapi permintaan Ketua DPRA Hasbi Abdullah agar MK membatalkan putusan juducial review tentang Pasal 256 UUPA menyangkut calon independen.

DPRA dan Fopkra menyatakan menolak putusan MK No 35/PUU-VIII/2010 tanggal 10 Desember 2010 terkait pasal 256 UUPA. “Prosedur putusan MK terhadap pasal 256 itu bertentangan dengan Pasal 269 UUPA karena tidak memintakan persetujuan dari DPRA,” kata Ketua DPRA Hasbi Abdullah.

Pasal 269 UUPA mengharuskan adanya persetujuan DPRA menyangkut adanya perubahan terhadap UUPA. “Pasal itu sudah terang benderang, bahwa perubahan UUPA harus atas persetujuan DPRA,” kata Hasbi Abdullah.

Hasbi mengatakan salah satu materi gugatan kepada MK adalah menyangkut pasal 269 UUPA, materi gugatan lainnya adalah sengketa kewenangan antarlembaga menyangkut penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkda) Aceh.

“Kita minta MK memutuskan lembaga mana yang berhak melaksanaan pilkada apakah KIP sendirian atau harus ada keterlibatan DPRA,” kata Hasbi Abdullah.

Ketua Umum Fopkra Fazloen Hasan mengatakan, Aceh memiliki kekhususan seperti yang diakui oleh pasal 18B UUD 1945. “Semua pihak harus menghargai kekhususan Aceh. Kami tidak ingin UUPA dipereteli,” kata Fazloen mengutip pertemuan dengan Mahfud.

DPRA dan Fopkra secara sendiri-sendiri akan mendaftarkan  gugatannya ke MK. “Kami akan segera melengkapi berkas gugatan sesuai ketentuan yang berlaku, meski kami sudah melayangkan surat gugatan melalui situs MK,” kata Fazloen Hasan.

Pada hari yang sama, Ketua DPRA Hasbi Abdullah bersama pengurus Fopkra menemui mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) di kediaman pribadinya kawasan Jakarta Selatan.

JK mengingatkan agar persoalan Aceh hendaknya diselesaikan dengan baik dan damai. “Ini soal trust, maka harus dipelihara dengan baik,” pesan JK, yang menjadi salah seorang tokoh kunci dalam proses perdamaian Aceh.(fik)

Editor : bakri
Sumber : http://aceh.tribunnews.com/2011/10/11/mk-silakan-gugat

Berdemo, Garda Harapkan Pemilukada Damai

Nusantara - 3 August 2011 | 6 Komentar
Jakarta, Gerakan Damai (Garda) Penyelamatan MoU Helsinki mengharapkan Pemilukada Aceh berlangsung damai dan semua pihak menghormati kekhususan Aceh sesuai MoU Helsinki dan Undang-Undang No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Demo GardaMassa Gerakan Damai (Garda) berorasi di depan Gedung Kemendagri, Jakarta, Rabu (03/08). Mereka meminta Pemerintah Pusat serius dan berkomitmen menjalankan amanah MoU Helsinki. (Harian Aceh/Fahrizal Salim)
 “Kami menginginkan semua bukan hanya soal Pilkada kembali kepada MoU Helsinki dan segera menyempurnakan UUPA,” kata ketua Forum Perjuangan Keadilan Rakyat Aceh (FOPKRA) Fazloen Hasan, selaku juru bicara Garda Penyelamatan MoU Helsinki dalam aksi damai di Jakarta, Rabu (3/8).

Dia memaparkan, MoU Helsinki sebagai konsensus politik untuk penyelesaian konflik di Aceh yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menjelaskan bahwa konsideran yang dituangkan dalam MoU Helsinki itu tetap menjaga Aceh dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kesepakatan yang mengikat itu, kata dia, seterusnya diatur dan diundang-undangkan serta disahkan Pemerintah Pusat pada 1 Agustus 2006 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam bentuk Undang-Undang yang dikenal dengan UUPA. Ironisnya, menurut Fazloen, sejak undang-undang tersebut disahkan ternyata sampai saat ini masih dihadapkan oleh berbagai tantangan. Benturan-benturan dalam konteks yuridis maupun subtansinya menjadikan situasi damai sepertinya akan mengalami proses delegitimasi.

Dikatakannya, klausul-klausul pelaksanaan UUPA satu sisi belum sepenuhnya mengakomodasi amanah MoU Helsinki namun di sisi lain berbagai aturan pelaksana yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat belum diselesaikan sepenuhnya. Aturan pelaksana sebagai payung hukum pelaksanaan undang-undang terkesan diabaikan, katanya.

Akibatnya, lanjut dia, Pemerintah Aceh, dalam hal ini legislatif Aceh dihadapkan oleh berbagai prasangka politik. Berbagai qanun yang semestinya menjadi prioritas legislatif Aceh sejauh ini juga belum mampu diselesaikan dengan baik. “Hambatan-hambatan struktural dan kultural ini menunjukkan bahwa situasi perdamaian berada pada kondisi yang membahayakan,” katanya.

Terganggu

Keputusan Makamah Konstitusi (MK) yang merestui calon perseorangan untuk ikut Pilkada 2011, juga telah menyeret situasi perdamaian dalam keadaan chauvinistik dan antagonistik. Berbagai akumulasi politik yang cenderung pragmatis dipahami oleh para elit telah menyebabkan situasi perdamaian semakin rumit.

Pihaknya menilai sangat wajar apabila Legislatif Aceh sebagai satu di antara pilar-pilar lainnya yang ada dalam masyarakat Aceh merasa terganggu dengan keputusan MK tersebut. Respon dari partai-partai lokal dan partai-partai nasional yang meminta pertimbangan Pemerintah Pusat tentang pelaksanaan Pilkada adalah langkah bijaksana demi menyelamatkan dan memartabatkan perdamaian lebih membumi. “Mestinya sengketa Pilkada tidak mengemuka jika semua pihak memahami perdamaian adalah proses politik untuk memperkuat eksistensi dan hakikat damai Aceh dalam sistem NKRI untuk ke sekian kalinya,” tambah Fazloen.

Fazloen juga menilai saat ini terjadi kekisruhan politik terkait calon independen sehingga Pemerintah Pusat perlu lebih hati-hati menyikapi dalam mengambil kebijakan baik tahapan maupun mekanisme yang harus merujuk pada keputusan DPRA sebagaimana yang diamanahkan rakyat dan UUPA sebagai kekhususan Aceh.

Karena itu, semua aspek hukum dan proses politik mesti pula meletakkan MoU Helsinki dan UUPA sebagai perekat damai. Dengan berkomitmen pada landasan politik dan produk hukum yang dijalankan selama ini meski belum sempurna, maka Aceh punya landasan kuat untuk mengaktualisasikan pembangunan yang lebih mensejahterakan rakyatnya di masa mendatang, sebutnya.(ant)

Sumber :
http://harian-aceh.com/2011/08/03/berdemo-garda-harapkan-pemilukada-damai