Sabtu, 31 Desember 2011

Gubernur: Tak Ada Lagi Penebangan Besar-besaran

Lhokseumawe (27/04/2010) - Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf mengakui masih adanya aktivitas penebangan liar pasca diterapkannya Moratorium Logging sejak tahun 2007 lalu. Meski demikian ia meyakinkan bahwa saat ini tidak ada lagi penebangan secara besar-besaran. ”Yang ada hanya pencurian kayu oleh pengusaha kecil-kecilan untuk bahan baku perabotan.”

“Tetaplah ada (penebangan liar), moratorium logging bukan ditujukan kepada illegal logging, illegal logging dari sononya juga illegal. Moratorium Logging saya tujukan kepada legal logging. Buktinya sekarang apa, HPH nggak ada yang berani nebang kan. Penebangan besar-besaran nggak ada kan. Yang ada pencurian kayu oleh masyarakat dan juga oleh pengusaha kecil-kecilan untuk perabot,” kata Gubernur Irwandi menjawab pers saat berkunjung ke Dayah Darul Islah, Gampong Ulee Blang, Kecamatan Nisam, Aceh Utara, Minggu (25/4).

Disinggung terkait gagasan kalangan akademisi agar Pemerintah Aceh melakukan ‘revolusi hijau’ untuk menyelamatkan hutan Aceh, Gubernur Irwandi menyatakan bahwa hal itu justru sedang berjalan. Soal tidak efektifnya pelaksanaan di lapangan, Irwandi bilang, “Oh, kalian melihat gelas yang setengah kosong, saya melihat gelas yang setengah terisi. Kita isi lagi sampai penuh”.

Peladangan Liar

Gubernur Irwandi mengatakan, munculnya konflik satwa dan manusia seperti gangguan gajah yang semakin marak di kawasan Aceh Utara dan Aceh Timur, akibat ulah manusia yang merambah ke tempat gajah. “Makanya saya himbau, janganlah mendirikan peladangan liar, tanpa koordinasi. Dulu memang ada dikoordinasi, tapi pemilihan tempat tidak memperhatikan kehidupan makhluk lain,” kata Irwandi.

Menyangkut harapan masyarakat Aceh Utara yang meminta agar dibuka kembali pusat pelatihan gajah di Mbang, Kecamatan Geureudong Pase, Gubernur Irwandi mendukung hal itu. Tapi soal anggaran untuk kegiatan tersebut, kata dia, tetap bergantung dari pemerintah pusat. Karena Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) masih organ pemerintah pusat.

“Jadi, tergantung pemerintah pusat kapan mau mengembalikan BKSDA ke tangan Pemerintah Aceh. Kalaupun diserakan ke Pemerintah Aceh, tapi kita mempertahankan supaya itu tetap didanai oleh pusat, Aceh hanya bisa membantu, tidak bisa membiayai,” kata Irwandi.

‘Revolusi Hijau’

Sebelumnya, akademisi Universitas Malikussaleh Taufik Abdullah menilai, perambahan dan pengelolaan hutan oleh sektor swasta selama ini cendrung merugikan kelestarian hutan Aceh. “Siapa yang berikan izin dan kontrol mereka? Lihat saja pembukaan lahan, penyerobotan lahan, penebangan kayu, eksplorasi tambang, sampai munculnya konflik satwa dan manusia semakin marak,” kata Taufik, beberapa waktu lalu.

Taufik Abdullah menegaskan, perlu ditinjau kembali jika ada qanun-qanun yang berkaitan dengan penyelamatan hutan dan sumber daya alam (SDA) Aceh. Kata dia, diperlukan evaluasi kritis dan komprehensif tentang kebijakan itu kalau memang benar ingin menyelamatkan ‘Aceh Green’. “Saya pikir jika ini serius, gubernur mesti deklarasikan ‘revolusi hijau’, sehingga hutan Aceh benar menyumbangkan investasi H2O untuk masyarakat dunia,” kata dosen Fisip Unimal ini.(*/ha/nsy)

Sumber :
www.http://seputaraceh.com/2010/04/27/gubernur-tak-ada-lagi-penebangan-besar-besaran.

Kemenangan Demokrat di Aceh Dikondisikan Eks GAM


Home : Pase : Lhokseumawe : Saturday, 11 April 2009 03:29

Lhokseumawe | Harian Aceh--Partai Demokrat yang tidak melakukan kampanye terbuka di Aceh, khususnya kawasan pesisir timur, ternyata mendapat dukungan yang luar biasa dari rakyat Aceh. Hasil penghitungan sementara, Demokrat menempati urutan kedua setelah Partai Aceh dalam perolehan suara Pemilu Legislatif 2009 untuk tingkat lokal. Sedangkan untuk tingkat pusat, rakyat Aceh mengantarkan Demokrat sebagai jawara.

Fenomena tersebut amat mencengangkan banyak pihak. Pasalnya, antara prediksi dengan hasil yang tampak sekarang amat bertolak belakang. Lantas, mengapa rakyat Aceh memilih Demokrat? Ada upaya pengkondisian oleh kalangan eks kombatan bahwa Partai Demokrat harus mereka dukung setelah Partai Aceh. Jadi kenapa harus Demokrat, ini satu kondisi yang diciptakan meskipun tidak secara mutlak. Karena sosok SBY punya peranan penting untuk GAM dan rakyat Aceh, kata Taufik Abdullah, pengamat politik dari Fisip Unimal Lhokseumawe saat dihubungi, tadi malam.

Menurut Taufik, rakyat Aceh sudah amat merasakan nikmatnya perdamaian ini. Dan perdamaian itu, kata dia, dalam anggapan rakyat Aceh seolah-olah berada di tangan SBY, Presiden RI yang juga Ketua Dewan Penasehat Partai Demokrat. Jadi, bisa juga ini semacam ucapan "terima kasih" rakyat Aceh kepada SBY dan pemerintah pusat. Karena rakyat Aceh tidak melihat SBY itu orang Jawa, siapa pun yang membantu orang Aceh akan sangat dihargai. Sebaliknya, siapa pun yang menzalimi orang Aceh akan dilawan, katanya.

Rakyat Aceh memilih Demokrat, lanjut Taufik Abdullah, juga sebagai bentuk penolakan terhadap parnas lain yang dinilai tidak memihak kepada rakyat Aceh. Demokrat sudah menunjukkan kerja nyata untuk rakyat Aceh melalui sosok SBY. Sementara parnas lain tidak dianggap seperti Demokrat. Misalnya, PPP yang sebenarnya cukup mengakar di Aceh, tapi tidak mendapat dukungan dari rakyat, karena parnas selain PD dianggap tidak punya kredibilitas sehingga ditinggalkan oleh rakyat Aceh, kata dosen ilmu politik di Fisip Unimal ini.

Anggota KIP Aceh Utara, Ayi Jufridar membenarkan bahwa hasil penghitungan sementara perolehan suara pemilu legislatif 2009 di Aceh Utara dimenangkan oleh Demokrat pada posisi dua teratas setelah Partai Aceh yang menang telak untuk tingkat lokal. Ayi Jufridar menilai bahwa kenyataan tersebut merupakan fenomena menarik. Pasalnya, di beberapa kawasan pedalaman Aceh Utara, yang menang justru Demokrat.

Baik Ayi Jufridar maupun sejumlah anggota PPK di Aceh Utara tidak menampik dugaan bahwa kemenangan Partai Demokrat merupakan buah dari hasil bekerjanya mesin politik eks kombatan. Hal itu sesuai dengan kenyataan yang mengemuka di kalangan masyarakat.

M Habibi, salah seorang mahasiswa di Aceh Utara menilai bahwa tanpa dukungan mesin politik eks kombatan, tidak mungkin Demokrat menang di Aceh. Pasalnya, kata dia, ada sejumlah daerah pedalaman seperti di Aceh Utara yang tidak pernah didatangi pengurus maupun kader Demokrat. Dan, Demokrat pun tidak membuat kampanye terbuka, kenapa rakyat tahu Demokrat, ya, pasti ada yang bilang kepada mereka bahwa Demokrat itu SBY. Kalau SBY, rata-rata warga Aceh sudah tahu betul bahwa itu orang yang punya peranan penting dalam perdamaian Aceh. Rakyat Aceh cinta damai makanya pilih SBY atau Demokrat, katanya.(irs)

Sumber :
http://www1.harian-aceh.com/pase/lhokseumawe/2299-kemenangan-demokrat-di-aceh-dikondisikan-eks-gam.html

“Mestinya Elit Lebih Kompak Setelah MoU Helsinki”


Monday, 15 August 2011 21:45 Written by I.I. Pangeran



[Anggota dewan berdoa bersama di ruang sidang paripurna DPRK Aceh Utara | The Atjeh Post/I.I. Pangeran]

LHOKSEUMAWE- Setelah adanya perjanjian damai MoU Helsinki, seharusnya pemimpin Aceh lebih kompak dan bersungguh-sungguh membangun provinsi yang pernah 30 tahun dilanda konflik bersenjata ini.

Hal itu disampaikan dosen ilmu politik Universitas Malikussaleh Taufik Abdullah dalam orasi politik pada refleksi enam tahun MoU Helsinki di ruang rapat paripurna DPRK Aceh Utara, Senin 15 Agustus 2011. Taufik hadir gedung dewan dan menyampaikan orasinya atas undangan Fraksi Partai Aceh di DPRK Aceh Utara.

“Kenyataannya, enam tahun damai berjalan masih banyak hal mengganjal. Implementasi UUPA sebagaimana amanah MoU Helsinki juga kini dihadapkan oleh konflik kekuasaan dan konflik regulasi,” kata Taufik.

Kata Taufik, konflik kekuasaan dan konflik regulasi tidak terjadi kalau para elit dan pemangku kebijakan meletakkan logika perdamaian dan kepentingan rakyat di atas segalanya. Itu sebabnya, Taufik mengingatkan bahwa MoU Helsinki dan Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) adalah patron politik dan hukum yang mengikat untuk kepentingan Aceh dalam NKRI.

Taufik juga menilai secara struktural pemerintah pusat belum ikhlas dengan MoU Helsinki. Sebab, sampai sekarang kewajiban menyelesaikan semua Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Keputusan Presiden sebagai aturan pelaksana UUPA. “Lembaga negara di tingkat pemerintah pusat baik di parlemen maupun departemen belum melihat MoU Helsinki dan UUPA sebagai sebuah komitmen bersama. Relasi dan interalasi eksekutif (birokrasi) dan legislatif Aceh penuh intriks,” katanya.

Secara kultural, menurut Taufik, sebagian masyarakat Aceh tidak melihat MoU dan UUPA kekuatan baru membangun Aceh. Sikap apatis dan bahkan sinis menjadi endemik dalam strata sosial masyarakat. Itu sebabnya, kesadaran kolektif perlu digelorakan agar pemerintah serius berjuang mewujudkan kewenangan dan kekhususan Aceh sesuai konsensus politik dan pedoman hukum yang disepakati enam tahun lalu.

Setelah Taufik menyampaikan orasi politik, anggota dewan dan pejabat pemerintahan Aceh Utara melakukan doa bersama selama 10 menit di ruang sidang paripurna dewan. []

Sumber :
http://atjehpost.com/nanggroe/daerah/5349-mestinya-elit-lebih-kompak-setelah-mou-helsinki-.html

Mahasiswa Unimal Gelar Mimbar Bebas Sumpah Pemuda


Saturday, 29 October 2011 15:02 Written by RILIS | I.I.PANGERAN


LHOKSEUMAWE - Mahasiswa ilmu politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh mengelar mimbar bebas Peringatan Hari Sumpah Pemuda di Kampus Bukit Indah, Muara Satu, Lhokseumawe, Jumat (28/10).

Mereka merefleksikan semangat Boedi Oetomo yang mendeklarasikan sumpah pemuda pada 28 Oktober 1928, 83 tahun lalu. Melalui tema 'Semangat Pemuda dalam memajukan Bangsa dan Negara', mahasiswa menguraikan patriotisme anak muda yang mampu mendorong orang tua memerdekakan Indonesia dari penjajah asing ketika itu.

“Semangat anak-anak muda merupakan cikal-bakal menuju Indonesia Merdeka pada 17 Agustus 1945,” pekik seorang mahasiswa dari atas mimbar.

Mahasiswa ilmu politik ini menyampaikan berbagai gagasan secara luas baik dalam konteks ke-Aceh-an, Nasional, bahkan menyorot perkembangan politik internasional.

“Peran pemuda perlu meretas ruang dan waktu serta tidak berhenti berbuat kebajikan demi kemajuan, perdamaian dan menjaga keutuhan negara,” kata Taufik Abdullah, dosen ilmu politik menitip pesan saat membuka kegiatan langka di kampus Malikussaleh ini.

Taufik Abdullah menilai semangat kepemudaan Aceh mulai lentur ketika para pemuda tidak lagi menjadi penghubung kepentingan rakyat. “Ini terjadi ketika pemuda mementingkan diri sendiri dan menolak kemapanan,” katanya.

Dia berharap semangat perubahan mesti bergelora dalam jiwa pemuda. Hanya saja perubahan itu tidak merusak tatanan yang ada. Ke depan, kata Taufik, pemuda Aceh dipinta tetap menjadi ujung tombak perekat kebhinnekaan (persatuan), merawat perdamaian dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

Usai Taufik Abdullah, seterusnya Jefri Sosetyo memandu mimbar bebas ini dengan penuh semangat. Mahasiswa baru sampai "lettu" alias leting tua naik mimbar silih berganti.

Sampai acara selesai Taufik Abdullah tidak beranjak dari kerumunan mahasiswa. Ia berpendapat kegiatan mahasiswa perlu dimediasi dirinya sendiri dengan tepat agar lebih siap menghadapi tantangan masa depan. Energi kritis dan positif yang ada dalam diri pemuda perlu diarahkan seperti acara mimbar bebas ini agar potensi mereka tersalurkan dengan baik.

Setiap momen penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kata Taufik, pemuda perlu diberikan ruang apresiasi. Untuk itu, menurut dia, setidaknya tiga hal selalu dipelihara dalam tubuh pemuda, yaitu inovatif, moral dan berbuat. "Mereka yang inovatif adalah pemuda yang berpikir. Ketika ia berpikir maka dalam pekerjaan dan perbuatan-perbuatannya berlandaskan moral dan kepentingan orang banyak,” demikian Taufik Abdullah.[]

Sumber :
http://atjehpost.com/gaminong/kampus/8019--mahasiswa-unimal-gelar-mimbar-bebas-sumpah-pemuda.html

Sengketa Pilkada : PA-Irwandi Kisruh Nazar Untung



Monday, 04 July 2011 15:33

BANDA ACEH - Kisruh politik Aceh antara Partai Aceh dengan Gubenur Irwandi Yusuf menjelanng Pilkada 2011, sangat menguntungkan posisi Muhammad Nazar yang masuk bursa calon gubernur. Malah namanya menonjol dalam berbagai survei yang telah dilakukan oleh beberapa lembaga.

"Kisruh politik dari dua kubu ini sangat menguntung Muhammad Nazar, masyarakat masih mengambang dengan calon yang sedang berkisruh," kata Taufik Abdullah, Ketua Laboratorium Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Malikussaleh, Lhoksemawe, usai diskusi publik Occidental Research Institut (ORI), Senin, 4 Juli 2011, di Banda Aceh.

Situasi politik yang memanas ini kata Taufik Abdullah, membuat masyarakat Aceh semakin bingung dengan aktor calon gubenur yang sedang bertingkai saat ini. "Sebab yang diingin oleh masyarakat saat ini adalah calon yang mucncul ini mampu mempertahan perdamaian yang sedang berlangasung ini," ujar Taufik Abdullah.

Masyarakat dari kalangan apapun tambah Taufik, masih mengutamakan jaminan perdamaian dari calon-calon yang muncul saat ini. "Mereka bisa menilai sendiri, masyarakat yang rasional pasti memilih calon mampu mempertahankan damai di Aceh," katanya.

Menurutnya, masyarakat tidak dibebani oleh kisruh dan polemik oleh dua kubu yang sedang berlangsung ini. Sebab tiga calon gubernur yaitu Irwandi Yusuf, Muhammad Nazar, dan Zaini Abdullah cukup berpengaruh dalam perdamaian Aceh. [] 

Sumber :
http://atjehpost.com/nanggroe/politik/3954-qkisruh-pa-irwandi-nazar-untungq.html

Refleksi 7 Tahun Tsunami: Bandar Publishing Gelar Doa Bersama dan Diskusi Krisis Sosial


Selasa, 27-Desember-2011

Penulis: Guruh Hariman 
Banda Aceh-Mediasi Online. Hari ini (Senin), 26 Desember 2004, sekitar pukul 08.15 Wib, tujuh tahun lalu Aceh di diguncangkan gempa berkekuatan 8,9 SR disusul menit-menit setelah itu dihantam badai tsunami. Musibah itu meluluhlantakkan bangunan juga merampas nyawa manusia. Puluhan ribu hilang seketika  ditelan gelombang tsunami.

Begitulah, Aceh tujuh tahun lalu dalam duka dan semua pihak terhenyuh karena kerusakan sangat dahsyat. Panik, trauma, frustasi dan berbagai dampak bermunculan ketika semua pihak mendorong Aceh untuk bangkit. Kini Aceh telah banyak berubah namun semangat kebangkitan bukan berarti tidak menyisakan masalah. Tak heran hari ini di beberapa tempat di Aceh khitmad mengenang tragedi tsunami dengan berbagai kegiatan.

Diantaranya, Bandar Publishing, sebuah komunitas intelektual muda berbagi, mempublikasikan dan menerbitkan gagasan anak muda, hari ini mereka berkumpul, berdoa dan berdiskusi mengenang tsunami. Setelah khitmad berdoa untuk korban tsunami lalu mereka merefleksi kontekstualisasi Aceh hari ini. Diawali Mukhlisuddin Ilyas (Direktur Bandar Publishing), memancing diskusi dengan sebuah pertanyaan mengelitik sebenarnya apa yang telah berubah hari ini setelah tujuh tahun tsunami? Yang pasti katanya ketika itu Aceh menjadi wilayah terbuka, bantuan masyarakat dunia mengalir deras baik dalam bentuk hibbah, bantuan langsung seperti  bantuan medis, relawan kemanusiaan, dan lain sebagainya.

Katanya lagi, dibalik musibah, tsunami membawa hikmah, dimana "wajah Aceh" berubah seketika. Grand  skenario (master plant)  "Aceh Bangkit" menjadi manifesto dimana-mana. Lalu, ditransformasikan dalam misi rehab-rekon. Sebuah badan dibentuk, cukup dikenal, yaitu BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) Aceh-Nias. Badan ini mengelola simpati dan empati internasional. Hampir semua negara terlibat dan tidak kurang 700 lembaga asing melibatkan diri dengan berbagai program rehab-rekon.

Memang, kesadaran untuk mengubah Aceh begitu kuat dan merona di mana-mana.  Tak heran deraan konflik selama 30 tahun terhenti seketika. Perjanjian damai RI-GAM disepakati dan melahirkan MoU Helsinki, sebagai prasyarat  rehab-rekon  dan semangat baru membangun Aceh dengan damai. Trust, etos dan harmoni dengan Jakarta dibawah kepemimpinan SBY-JK berlangsung manis. Dan, rentang waktu tujuh tahun diakui peserta diskusi Aceh telah banyak berubah, namun perubahan itu sepertinya  belum monumental jika dilihat sikap dan perilaku anak bangsa sekarang ini. Kita bukan krisis kultural tapi kita dihadapkan krisis identitas, demikian pandangan-pandangan yang muncul dari peserta diskusi ini.

Taufik Abdurrahmim kandidat doktoral dari Universitas Kebangsaan Malaysia menggugat beberapa realitas. Pertama, masyarakat Aceh sepertinya sedang dihadapkan pada krisis multidimensi. Tahun ke tujuh ini nampaknya semakin kehilangan orientasi. Kedua, ketahanan sosial dan mental aparatur pemerintah, baik di eksekutif maupun legislatif belum sepenuhnya berubah. Tatakelola birokrasi masih perlu di push agar lebih mampu bekerja untuk pembangunan kesejahteraan rakyat. Ketiga, media massa secara kritis telah menyajikan berbagai penyimpangan perilaku elit namun patologi korupsi terus meningkat.

Sementara Sulaiman Tripa menilai peringatan tsunami tidak hanya menjadi rutinitas tiap tahunnya. Ke depan "hari tsunami" menjadi "satu hari" yang mengingatkan kita "betapa dalamnya"  sebagai tonggak kebangkitan Aceh "dalam segala hal".  Tanggal 26 Desember bukan sekedar rutinitas tapi mengingatkan kita pada hari itu ada sesuatu mulai berubah setelah penderitaan panjang. Pertama disarankan tsunami harus menjadi cambuk.  Satu sisi mengenang yang pergi akibat tsunami tapi sisi lain kita yang hidup memakrifati tantangan setiap tahunnya.

Kedua, implikasi dari tsunami adalah berakhirnya konflik berdarah puluhan tahun. Dua peristiwa itu mesti dipaksa ingat dan mesti menjadi "kalender khusus".

Menyambung ungkapan Dosen Fakultas Hukum Unsyiah tersebut, Teuku Ridha Fahmi, seorang guru sekolah menengah atas, menyatakan "kalender khusus" satu kebutuhan untuk mengantisipasi krisis sosial lebih dalam. Cukup beralasan karena Fahmi melihat pasca tsunami muncul intelektualisme yang luar biasa sebagai manifestasi kebangkitan.

Namun spritualitas menurutnya semakin lemah. Intelektualisme dan spritualisme dua hal yang tak terpisahkan untuk memoralkan kehidupan. Katanya, intelektual yang berlandaskan spritual akan lahir aktualisasi sosial atau gerakan sosial yang istigamah terhadap perubahan.

Akibat dua sendi ini tidak berjalan paralel maka godaan mudah mendera siapapun, pragmatisme maniak, dan akhirnya kekuatan moral dalam tatanan sosial maupun secara struktural pemerintahan terjerabut akal sehat dan tindakannya, demikian  mantan aktivis BEM IAIN Ar-Raniry ini merefleksi penuh semangat.

Seterusnya Herman, aktivis Proodelat, katanya belum mampu merefleksikan duka, kesedihan, kepanikan dan frustasi melihat mayat-mayat bergelimpangan tujuh tahun lalu. Saya khawatir cerita dan kisah yang muncul sekarang dalam kenyataannya dipandang imajimer generasi sesudah kita. Dalam faktanya banyak lokasi tsunami tidak diselamatkan sebagai "situs tsunami".

Semestinya diselamatkan secara orisinil sehingga generasi selanjutnya tidak mengira cerita dan kisah tsunami itu dibuat-buat dan mengharubirukan. Cerita kita benar adanya tapi logika anak cucu kita belum tentu dapat memahami ada korban diselamatkan ular, kerbau atau oleh hal-hal yang aneh lainnya.

Suatu saat jika ditanya mana lokasi tsunami, maka saat kita tunjuk, mungkin mereka tidak akan percaya, sebab faktanya sepuluh atau dua puluh tahun ke depan di lokasi itu sudah dibangun rumah dan gedung-gedung mewah, apakah mereka percaya, demikian Herman begitu geramnya melihat ada lokasi-lokasi tsunami tidak diselamatkan sejak awal. Menurut Herman, generasi setelah kita belum tentu percaya bahwa diantara 109 tsunami pernah terjadi di dunia, yang diakui Aceh paling parah dan besar sekali dampaknya dalam sejarah tsunami dengan fakta-fakta yang dilihat kemudian, sebabnya tidak ada ciri khasnya.

Kalaupun ada seperti PLTD Kapal Apung, itupun sudah dimodifikasi, katanya. Kendati begitu, ia meminta berbagai keajaiban perlu ditulis, disamping sisa-sisa tsunami yang masih ada sekarang, beberapa lokasi menurutnya perlu diselamatkan secara orisinil sebagai situs tsunami. Terakhir, Taufik Abdullah Dosen Fisip Unimal yang hadir memandu diskusi refleksi tujuh tahun tsunami ini mengamini semua pandangan peserta diskusi. Katanya, Aceh suatu saat akan tetap menjadi tempat kenangan penuh tragedi, karena disini ada konflik dan tsunami yang mengusik kemanusiaan, maka caranya Aceh betul-betul harus menjadi tempat riset konflik, riset tsunami dan wisata tsunami yang berharga.

Usaha-usaha untuk itu diakui sudah berlangsung beberapa tahun terakhir tapi belum maksimal. Dalam refleksi itu secara mendasar Pemerintah dinilai belum mampu membentuk badan khusus kajian dan penelitian tsunami-kalaupun ada kesadaran volunteir dan belum optimal di dukung pemerintah. Ke depan diharapkan pemerintah lebih serius menjadikan Aceh sebagai tempat kunjungan "kunjungan dan pelajaran masyarakat dunia".

Dinilai pula pemerintah belum mampu mempromosikan tsunami sebagai modal kebangkitan dan pembangunan. Hikmah tsunami yang luar biasa itu tidak sepenuhnya diartikulasikan secara maksimal sebagai modal sosial kebangkitan yang sesungguhnya dan berbuat lebih baik. Karena itu, diakhir diskusi ini Taufik Abdullah berpendapat perlu ada introspeksi total, agar secara radikal transformasi tsunami menemukan roh dan maknanya yang senantiasa  dihidupkan setiap tahunnya.

Sumber : http://mediasionline.com/readnews.php?id=2554

Refleksi 7 Tahun Tsunami : Aceh Tetap Tempat Kenangan Penuh Tragedi


LANGSA-Berbagai hal kejadian agar perlu ditulis, ini penting buat kenangan, seperti yang terjadi di Aceh tercatat dalam sejarah, disamping sisa-sisa tsunami yang masih ada sekarang, beberapa lokasi menurutnya perlu diselamatkan secara orisinil sebagai situs tsunami. Demikian dikatakan Dosen Fisip Unimal, Taufik Abdullah, saat memandu diskusi refleksi tujuh tahun tsunami, Senin (26/12) di Bandar Publising Banda Aceh. Menurutnya, suatu saat Aceh akan tetap menjadi tempat kenangan penuh tragedy.

Pasalnya, disini ada konflik dan tsunami yang mengusik kemanusiaan, maka caranya Aceh betul-betul harus menjadi tempat riset bencana tsunami, dan riset rekontruksi perdamaian yang sangat berharga. Dan ini benar harus dimaksimalkan usaha-usaha agar dikemudian hari jadi tempat kenangan yang penuh tragedi. Makanya, refleksi 7 tahun ini secara mendasar Pemerintah dinilai belum mampu membentuk badan khusus kajian dan penelitian tsunami. Kalaupun ada kesadaran volunteir dan belum optimal di dukung pemerintah. Ke depan diharapkan pemerintah lebih serius menjadikan Aceh sebagai tempat kunjungan dan pelajaran masyarakat dunia.

Selanjutnya, pemerintah juga belum mampu mempromosikan tsunami sebagai modal kebangkitan dan pembangunan. Hikmah tsunami yang luar biasa itu tidak sepenuhnya diartikulasikan secara maksimal sebagai modal sosial kebangkitan yang sesungguhnya dan berbuat lebih baik. “Perlu ada introspeksi total, agar secara radikal transformasi tsunami menemukan roh dan maknanya yang senantiasa dihidupkan setiap tahunnya," ujarnya. (ris)

Sumber :
http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=24795

Nasionalisme Perlu Diikat dengan Semangat MoU Helsinki

Pase - 3 June 2011 | 
Lhokseumawe | Harian Aceh - Kepala Laboratorium Ilmu Politik Fisip Unimal Taufik Abdullah mengatakan reaktualisasi nasionalisme pemuda Aceh kontemporer mesti diikat dengan semangat MoU Helsinki, yaitu nasionalisme damai untuk memartabatkan Aceh dan Indonesia.

Ini harganya sangat mahal. Sepertinya, kesadaran ini tenggelam di tengah badai pragmatisme dan hidonisme yang mengerogoti berbagai aspek kehidupan anak bangsa, kata Taufik Abdullah di Lhokseumawe, Jumat (3/6).

Menurut Taufik, isme itu penting bagi setiap bangsa agar generasi di dalamnya mengenal diri, bersatu padu, mengembangkan kemampuan dan potensinya agar berdaya saing. Isme itu bukan paranoid dan taksub (egoisme, kebencian dan permusuhan), tapi kesadaran untuk membangun bangsa ini lebih baik tanpa melupakan sejarah dan akar peradabannya.

Transformasi politik keacehan dalam konteks sekarang semestinya harus dikembangkan ke arah tersebut. Karena kesadaran elit dan khususnya pemuda Aceh terasa mengalami disorientasi. Kepeloporan pemuda Aceh ke depan harus mampu menerjemahkan MoU Helsinki agar perdamaian Aceh lebih sempurna,katanya.

Untuk itu, Taufik menekankan agar kepeloporan pemuda perlu ditumbuh kembangkan sehingga mereka sadar dan mampu memformulasikan isme-nya lebih proggresif dan subtantif. Artikulasi peran pemuda Aceh, kata dia, masih ditunggu dan dibutuhkan. Implementasi UUPA sesuai MoU Helsinki belum berjalan sebagaimana mestinya, baik yang menjadi kewenangan Pemerintah Indonesia maupun yang menjadi kewenangan Pemerintah Aceh. Ini kan belum berjalan, kata Taufik.

Ia menegaskan, ketika isme lentur di kalangan generasi muda, maka demoralisasi moral dan karakter sebuah bangsa juga mengalami krisis akut. Kita mesti sadar, isme Aceh dalam konteks politik kontemporer baru saja dimulai. Dan, untuk itu perlu ditumbukembangkan agar pengalaman pahit masa lalu tidak berulang kembali. Mou Helsinki dan UUPA adalah isme baru antara Aceh dan Indonesia. Maka bagaimana membangun adonan nasionalisme itu lebih nyata, dalam ide dan praktek, katanya.

Karena itu, lanjut Taufik, ke depan bagaimana kesadaran atau isme itu dibangun dengan tanpa pura-pura, sehingga identitas dan integritas politik, damai dan menyeluruh, selamat dan bermartabat bagi Aceh dan Indonesia dapat terwujud. Tanpa kepeloporan, katanya, pemuda bagai mimpi harapan tersebut dicapai.(nsy)

Sumber :
http://harian-aceh.com/2011/06/03/nasionalisme-perlu-diikat-dengan-semangat-mou-helsinki

Survei Pilkada : Nazar Bakal Pimpin Aceh

Banda Raya - 5 July 2011 |
Banda Aceh | Harian Aceh - Muhammad Nazar diperkirakan bakal menjadi pemimpin Aceh periode mendatang. Berbagai survei menunjukkan Wagub Aceh (sekarang) itu akan menang mutlak pada Pemiluka 2011.



Occidental Research Intsitute (ORI) mengumumkan hasil survei calon gubernur yang layak memimpin Aceh periode 2012-2017 versi masyarakat di 23 kabupaten/kota di Aceh, Senin (4/7). Hasil survei ORI menyimpulkan, Muhammad Nazar lebih unggul daripada calon lainnya. (Harian Aceh/Junaidi Hanafiah)

Survei Occidental Research Institute (ORI) yang diumumkan di Banda Aceh, Senin (5/7), menyebutkan elektabilitas atau tingkat keterpilihan Muhammad Nazar sebagai Gubernur Aceh menempati urutan teratas.Sebanyak 45 persen responden memilih Muhammad Nazar sebagai Cagub Aceh. Sedangkan Irwandi Yusuf menempati urutan kedua dengan 33 persen responden. Sementara calon lain jauh di bawah mereka,kata Direktur ORI Maimun Lukman.

Menurutnya, survei itu melibatkan 12.755 responden yang terdiri dari 10 profesi pekerjaan berbeda. Setiap kabupaten/kota di Aceh diambil sampel 555 responden. Kami mencantumkan lima nama calon gubernur sebagai sampel untuk masyarakat, yakni Irwandi Yusuf, Muhammad Nazar, Darni Daud, Zaini Abdullah, dan Tarmizi Karim,kata Maimun.

Dari jumlah tersebut, lanjut dia, sebanyak 11.862 atau 93 persen responden mengaku sudah mengenal kelima calon gubernur yang akan maju pada Pemilukada nanti. Sedangkan 893 responden atau 7 persen mengaku belum mengenal calon gubernur Aceh itu. Dari 11.862 responden yang mengaku sudah mengenal calon gubernur, ternyata 84 persen atau 9.964 orang mengaku sudah menetapkan pilihannya. Sedangkan sebanyak 16 persen atau 1.898 orang lainnya mengaku belum menentukan pilihannya,jelasnya.

Dijelaskannya, Cagub Muhammad Nazar menempati urutan pertama dengan persentase keterpilihan 45 persen atau 4.858 responden. Sedangkan Cagub Irwandi Yusuf menempati urutan kedua dengan persentase 33 persen atau 3.566 responden. Di posisi ketiga, Cagub Zaini Abdullah dan Darni M Daud berbagi tempat dengan 8 persen, serta Tarmizi Karim berada di posisi terakhir dengan 6 persen.

Berdasarkan karakteristik, jelas dia, para pemilih Cagub Muhammad Nazar berasal dari golongan petani, pedagang atau pengusaha, buruh, tokoh pemuda, dan pimpinan organisasi massa. Sedangkan Cagub Irwandi Yusuf berasal dari PNS, istri TNI/Polri, nelayan, serta tokoh masyarakat. Pengumpulan data ini dilakukan dengan pedoman wawancara terbuka secara face to face selama bulan Juni 2011. Kemungkinan margin of error dalam survei sekitar 3 persen dan tingkat keyakinan sebesar 97 persen,tambah Budi Azhari, peneliti ORI lainnya.

Diuntungkan Konflik Irwandi-PA

Konflik yang kian memanas antara Gubernur Irwandi Yusuf dengan Partai Aceh belakangan ini juga sangat menguntungkan posisi Muhammad Nazar sebagai Cagub Aceh pada Pemilukada mendatang. Konflik horizontal antara Irwandi Yusuf yang juga kandidat Cagub dengan Partai Aceh justru menguntungkan posisi Muhammad Nazar yang juga punya niat yang sama mencalonkan diri sebagai Cagub Aceh. Seharusnya, konflik horizontal ini patut dihindari untuk menjaga popularitas mereka, kata Taufik Abdullah, Kepala Laboratorium Ilmu Politik Fisip Unimal Lhokseumawe yang hadir sebagai pembanding pada pengumuman hasil survei Occidental Research Intsitute, kemarin.

Menurut Taufik, masyarakat saat ini memandang sosok Muhammad Nazar sebagai calon yang lebih santun dalam berpolitik. Sedangkan Irwandi Yusuf dan calon yang diusung oleh Partai Aceh (Zaini Abdullah) lebih ke arah anarkis dan ambisius. Persepsi ini, lanjut dia, akhirnya menumbuhkan imej negatif kedua kandidat ini di kalangan masyarakat. Sedangkan sosok Muhammad Nazar yang tidak terlibat konflik justru mendapat apresiasi positif dari masyarakat, katanya.(mrd)

Sumber :
http://harian-aceh.com/2011/07/05/survei-nazar-bakal-pimpin-aceh

Kupon Palsu untuk Pembusukan Karakter Nazar


Banda Raya - 2 August 2011 | 
Lhokseumawe | Harian Aceh – Penyebaran kupon daging meugang yang mengatasnamakan Muhammad Nazar Center (MNC) dinilai sebagai upaya pembusukan karakter Nazar. Besar kemungkinan tindakan kotor itu dilakukan lawan politik Nazar terkait Pemilukada 2011.

Pengamat politik dari Universitas Malikussaleh Taufik Abdullah memperkirakan kalangan tertentu sengaja menyebarkan kupon daging meugang yang mengatasnamakan Muhammad Nazar untuk mempermalukan MNC sebagai tempat bernaung berbagai lembaga yang akan memenangkan Nazar dalam Pemilukada Aceh.

Dari alibi ini, saya menduga itu dilakukan karena pihak tertentu melihat sosok Nazar menjadi ancaman. Tujuan mereka menyebarkan kupon meugang untuk mempermalukan MNC. Mungkin Nazar dianggap kompetitor tangguh sehingga perlu dibusukkan karakternya, kata Taufik Abdullah, Senin (1/8).

Menurut Taufik, jika ini dilakukan pihak yang menganggap Nazar blunder politik, maka strategi anti Nazar malahan tidak efektif. Bahkan kemudian akan menaikkan imej dan ketokohan Nazar di mata kalangan abang becak. Tim MNC tentu dapat mengelola isu ini untuk menaikkan gengsi mereka. Satu caranya, mereka mengadukan ke polisi agar mengusut pelaku pengedar kupon tersebut, kata kepala Laboratorium Politik Fisip Unimal ini.

Sebelumnya, Taufik mengemukakan alibi lainnya dari kasus kupon palsu tersebut bahwa tidak menutup kemungkinan hal itu justru dilakukan tim MNC sendiri. Bisa saja tim MNC sengaja mengedarkan kupon tersebut namun hanya sebatas kupon saja. Dalam aksinya daging meugang tidak disediakan. Tujuannya, kata dia, untuk mengemas isu seolah-olah Nazar dikibuli dan dizalimi lawan politik, dengan demikian rasa simpati masyarakat bertambah untuk Nazar.

Ini saya pikir satu strategi dan marketing politik yang sangat mungkin dilakukan MNC.  Kendati begitu, saya pikir tidak sebodoh itu tim MNC menggadaikan abang becak hanya dengan sekilo dua kilo daging.  Kalau ini dilakukan tim MNC sungguh memalukan, kata Taufik Abdullah yang saat dihubungi mengaku sedang berada di Jakarta.

Alibi ketiga, lanjut Taufik, tidak tertutup kemungkinan pembagian kupon itu dilakukan orang-orang iseng. Orang iseng ini, kata dia, boleh jadi dari internal pengurus abang becak atau tidak ada kaitan sama sekali dengan pengurus becak. Yang jelas, kata Taufik, kemungkinan pesan orang iseng ini sebenarnya melihat sosok Nazar sudah lupa dengan abang becak. â€Å“Situasi itu dibentuk oleh orang iseng agar Nazar jangan seperti kacang lupa kulitnya. Dulu Nazar sering diarak-arak pawai kota oleh abang becak, sehingga nampak Nazar simbol perlawanan rakyat, katanya.

Taufik mengungkapkan, pasca perjanjian damai GAM dan RI di Helsinki, Nazar dibebaskan dari tahanan penjara di pulau Jawa. Ketika itu, kata dia, buru-buru abang becak menjemputnya di Bandara Iskandar Muda. Abang becak tidak mengizinkan Nazar termasuk anak isterinya naik mobil mewah, karena berharap Nazar tetap menjadi idola mereka. Abang becak berharap saat itu Nazar harus tetap menjadi tokoh, setidaknya menjadi ikon perdamaian dan mengawal MoU Helsinki untuk martabat rakyat Aceh.

Mungkin hal inilah dilihat oleh orang iseng bahwa Nazar telah berubah, sehingga dengan iseng-iseng menyebarkan kupon meugang untuk abang-abang becak. Alibi saya, abang-abang becak tidak mau marwah mereka digadaikan hanya dengan sekilo daging. Karena itu, sangat mungkin kupon ini dilakukan oleh orang-orang iseng, yang tidak ada kaitanya sama sekali dengan pengurus persatuan becak, kata Taufik.

Ia menilai dalam situasi sekarang apa saja mungkin dilakukan pihak tertentu untuk dapat berkuasa, termasuk mengelola perasaan orang masyarakat lemah seperti para abang becak. Sehingga, kata Taufik, demi keinginan berkuasa hal-hal yang lebih krusial menyelamatkan kepentingan Aceh dalam bingkai MoU Helsinki diabaikan begitu saja. Ini sebuah ironi melihat konstalasi politik Aceh hari ini, katanya.(nsy)

Sumber :
http://harian-aceh.com/2011/08/02/kupon-palsu-untuk-pembusukan-karakter-nazar

Aceh Krisis Politisi Perempuan

Selasa, 20 December 2011 | 10:23
 
LANGSA-Aceh semakin krisis politisi perempuan yang handal untuk merubah wajah Aceh baru pasca konflik. Kiprah perempuan dalam merubah Aceh, sudah terbukti dan ini sangat penting untuk didorong kedepan pada ranah politik. Tanpa hal itu sulit merubah nasib dan pembelaan hak-hak perempuan secara menyeluruh. Hal itu dikatakan Taufik Abdullah, Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Malikussaleh, kepada Rakyat Aceh, Minggu kemarin.

Menurutnya, momentum hari Ibu, kaum perempuan di Aceh masih kurang mendapat tempat dan kesempatan politik di Aceh. Bahkan terkesan diskriminasi pada tingkatan komunitas, sering kaum perempuan Aceh mendapat pelecehan dalam politik. Hal ini dapat dilihat saat pencalonan anggota legeslatif, kerap kaum hawa tidak mendapat tempat yang layak, hanya sekedar untuk melengkapi struktur caleg saja. Selain itu, masih banyak ketidakadilan dirasakan perempuan tidak hanya dalam konteks lokal namun juga ditingkat nasional. Biarpun peran aktivis perempuan telah banyak melakukan perubahan dan pembelaan hak-hak perempuan diberbagai strata sosial.

Diakui Taufik, saat ini Aceh mengalami krisis politisi perempuan. Berbeda tempo dulu ada ketokohan yang mempersatukan. Dulu perempuan mampu memimpin pemerintahan dan politik di Kerajaan Aceh. Diantaranya Putri Lindung Bulan, Putroe Phang, Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu, Ratu Safiatuddin, Ratu Naqiatuddin, Ratu Zakiatuddin dan Ratu Kamalat Syah.

Saat menghadapi penjajah Belanda, perempuan juga tampil sebagai pemimpin perang. Ketokohan perempuan mampu mengendalikan operasi penyerangan baik di darat maupun di laut, diantaranya Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dhien, Fakinah, Cut Meutia, Pocut Meurah Intan dan Pocut Baren. “Aceh tempo dulu memiliki sistem politik, hukum dan tatakelola pemerintahan terbaik di nusantara. Tentu tidak lepas dari tangan halus perempuan. Trias politica sudah diperkenalkan di Aceh sebelum Monstique memperkenalkannya di Eropa," ujarnya. (ris)

Sumber :
http://www.rakyataceh.com/print.php?newsid=24657.

Tim Polhukam Dialog dengan Warga Pidie

*Peserta Pertanyakan Pencomotan Pasal UUPA oleh MK
Kamis, 1 Desember 2011 14:19 WIB

SIGLI - Suasana dialog antara sejumlah masyarakat Pidie dengan Asisten Deputi 1 Poldagri Koordinator Otsus, Brigjen TNI Sumardi, di Op Room Setdakab Pidie, Rabu (30/11) berlangsung hangat dengan ‘hujan’ pertanyaan. Pertemuan ini dipimpin Bupati Pidie H Mirza Ismail didampingi unsur Muspida setempat.

Suadi Sulaiman, Wakil Ketua Komisi A DPRK Pidie penanya pertama membeberkan, ada upaya pemaksaan terkait Pilkada di Kabupaten Pidie. Di mana pasal dirujuk dari prosesi ini seolah main comot dengan menyingkirkan keberadaan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang menjadi ruh bagi perdamaian Aceh.

Pertanyaan senada juga diungkapkan oleh Taufik Abdullah, dengan suara lantang juga menentang keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) seolah-olah tidak kompromi dengan UUPA dan MoU Helsinki. Dengan suara lantang, ia menuding bahwa pemerintah pusat sudah mengkebirikan UUPA dengan melakukan pemaksaan pilkada.

Begitu juga halnya, Tgk Nurdin Amin asal Glumpang Minyeuek, mengatakan, apa pun dipaparkan seolah-olah tiada artinya. Ia meminta agar semua pihak untuk menjunjung tinggi MoU Helsinki yang disepakati bersama antara Pemerintah RI dan GAM pada 15 Agustus 2005 lalu.

Begitu juga halnya, Ismail Von Sabi, mewakili LSM Pidie Transparan (PiTA) meminta supaya apa pun terjadi rakyat jangan menjadi korban “konflik”. Apa pun yang dijalankan seharusnya disesuaikan dengan rumusan sudah disepakati sebelumnya.

Sementara itu, Brigjen TNI Sumardi menyebutkan, tidak semua jawaban bisa memuaskan, namun ini akan menjadi masukan untuk disampaikan ke atasannya di Jakarta. Pada dasarnya tujuan kehadirannya di Aceh guna mendorong Aceh bukan menjatuhkan. MK (mahkamah konstitusi) ibaratnya keputusan tertinggi kalau yang paling di atasnya adalah Tuhan Yang Maha Kuasa.

Brigjen TNI Sumardi meminta supaya antar satu masyarakat di Pidie khususnya supaya menghargai menciptakan kedamaian seperti tertuang dalam MoU Helsinki. Dia menilai kondisi Aceh sekarang justru lebih baik seperti halnya di daerah lain. “Penyelesaian damai di Aceh sudah cukup bagus,” katanya.(aya)

Editor : bakri

Sumber :
http://aceh.tribunnews.com/2011/12/01/tim-polhukan-dialog-dengan-warga-pidie

Dirjen Otda: Demi Perdamaian Aceh Sengketa Pilkada Adil Untuk Semua



AcehVoice – Jakarta: DIRJEN Otonomi Daerah, Prof Djohermansyah menilai, saat ini diperlukan komitmen bersama dengan Pemerintah Pusat untuk mengawal Undang- Undang Pemerintahan Aceh agar sesuai dengan MoU Helsinki. Pernyataan tersebut disampaikan saat menerima delegasi KMPA (Komite Mahasiswa Pemuda Aceh) dan elemen masyarakat sipil lainnya yang mengatasnamakan Gerakan Damai (Garda) Penyelamatan MoU Helsinki di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Rabu (2/8/2011).
 
“Caranya adalah dengan mendudukkan semua pihak yang berkepentingan termasuk KPU, Bawaslu, DPRA, gubernur, partai lokal, dan partai nasional, dengan menghindari sikap ekstrim, untuk menemukan cara terbaik menyelamatkan perdamaian Aceh,” kata Djohermansyah.

Namun dari semua itu, adanya komitmen para pihak merupakan hal terpenting. “Jika perlu, buat MoU 'kecil' yang menjamin komitmen para pihak agar MoU Helsinki terimplementasi dalam UUPA demi perdamaian Aceh,” ujarnya.

Terkait kisruh Pemilukada di Aceh saat ini, ia menegaskan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) bersifat final dan mengikat. Sehingga Pemerintah Pusat tidak memiliki kewenangan untuk mengusik independensi dari hasil yang sudah dikeluarkan oleh MK tentang judicial review pasal 256 perihal pasal perseorangan dalam UUPA. 

Meski begitu, katanya, ia sepakat perlunya pemenuhan UUPA sesuai MoU Helsinki sehingga sengketa Pemilukada bisa diselesaikan secara rasional dan adil untuk semua pihak. [azwar]

Mimbar Bebas Memperingati Hari Sumpah Pemuda

Sabtu, 29 Oktober 2011 | 10:09
Generasi Muda Harus Tampil Memimpin


LHOKSEUMAWE- Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik (HIMIPOL) mengadakan acara Mimbar Bebas memperingati Hari Sumpah Pemuda di depan gedung Prodi Ilmu Politik, Fisip, Unimal, Jumat (28/10) sekira pukul 09.00 WIB. Acara yang dihadiri puluhan mahasiswa tersebut diisi dengan orasi-orasi kritis dari mahasiswa. Masing-masing dari mereka secara bergiliran menyampaikan orasinya di atas panggung. Acara tersebut dibuka dengan orasi dari dosen Prodi Ilmu Politik Unimal, Taufik Abdullah, S.Ag, MA. Orasi yang disampaikan sangat beragam.

Misalnya Jefri Susetio yang menyampaikan orasi mengenai eksistensi pemuda di tengah gempuran globalisasi, M. Agam Khalilullah yang menyempaikan orasi tentang kewajiban pemuda untuk peduli kepada isu-isu Hak Asasi Manusia, Helmi tentang kesejahteraan pemuda, dan lainnya. Ketua HIMIPOL, Bisma Yadhi Putra, dalam orasinya mengatakan, kalau nafsu politik kaum muda kini sedang bergejolak. Pemuda kini banyak yang berani untuk terjun langsung ke dunia politik praktis.

Terutama menjelang Pilkada, pemuda sangat antusias untuk ikut terlibat dalam politik. Namun sayangnya, menurut Bisma, saat ini pemuda hanya bisa menjadi tukang pasang spanduk, tim sukses, atau menjadi bahan bakar mesin politik kandidat yang didominasi kaum tua. Tidak ada anak muda yang berani menjadi kandidat walikota, bupati atau gubernur.

Momen Hari Sumpah Pemuda harus dijadikan renungan bagi para pemuda untuk bisa lebih jauh berpartisapasi dalam pembangunan bangsa dan negara. Jika dulu banyak pemuda yang berani berdiri dibarisan paling depan medan perang, kenapa saat ini tidak ada yang berani berdiri sebagai kandidat Pilkada.

“Bukankah dulu banyak pemuda yang berani melempar granat? Kenapa sekarang tidak banyak yang berani melempar gagasan-gagasan cemerlang mereka untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di ranah kehidupan,”ujarnya, seraya menambahkan jika peran pemuda semakin terkikis, maka ditakutkan ke depan akan terjadi krisis regenerasi. (arm)

Sumber :
http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=23867&tit=Berita Utama-Generasi Muda Harus Tampil Memimpin

Konflik Pilkada Picu Keraguan Rakyat

Tue, Jul 5th 2011, 11:20
Konflik Pilkada Picu Keraguan Rakyat
* ORI Umumkan Hasil Survei

Kutaraja
BANDA ACEH - Konflik politik pilkada yang akhir-akhir ini mengemuka ditengarai akan membuka celah publik pada posisi bimbang untuk menentukan pilihannya. Selain karena terjadinya kontradiksi antara harapan rakyat yang menghendaki pilkada berjalan damai, ruang konflik politik terkait regulasi pilkada juga melahirkan sikap pemilih yang mengambang dan cenderung apatis berpartisipasi dalam pesta demokrasi lima tahunan itu.

Demikian antara lain analisis dosen Ilmu Politik Universitas Malikussaleh, Taufik Abdullah MA saat menjadi pembanding dalam diskusi publik “Hasil Survei Cagub Pilihan Rakyat Aceh Periode 2011-2017”, yang diselenggarakan Occidental Research Institute (ORI) di Palace Cafe, Senin kemarin. Hadir juga menjadi pembicara akademisi Unsyiah Saiful Usman M Si dan Direktur ORI Maimun Lukman MA.

Menurut Taufik, ekses konflik regulasi pilkada telah membentuk opini publik terhadap kemungkinan lain menentukan pilihan mereka kepada kandidat tertentu. Bahkan, kondisi tersebut juga membawa pada adanya satu situasi akan mempengaruhi image kandidat tertentu yang terlibat dalam pusaran konflik.

“Kondisi ini bisa berdampak pada pemilih tidak rasional lagi melihat sosok pemimpin yang akan mereka pilih. Ini bisa terjadi di berbagai tingkatan pemilih, termasuk pemilih pemula,” tegas mageister jebolan Universitas Kebangsaan Malaysia itu.

Menurut Taufik, tidak hanya itu, konflik politik pilkada juga membuat rakyat terjebak pada keraguan dan tidak berani menentukan pilihannya. Sebab, yang diinginkan rakyat adalah kedamaian, dan tidak ingin terjebak dalam konflik. Namun agak disesalkan, saat ini masih ada masyarakat yang memilih hanya karena faktor figur dan pencitraan. “Rakyat belum mendapat pendidikan yang baik. Masih ada yang memilih karena faktor figur dan pencitraan,” ujarnya.

Nazar unggul
Sementara itu ORI dalam diskusi tersebut juga merilis hasil survei dengan menempatkan Muhammad Nazar (Wakil Gubernur sekarang, red) sebagai calon gubernur yang mempunyai tingkat elektabilitas (dapat dipilih) paling tinggi dibandingkan empat kandidat gubernur lainnya yang disurvei. “Dari hasil survei yang kita lakukan, Muhammad Nazar merupakan figur yang paling banyak dipilih responden,” kata Direktur ORI Maimun Lukman.

Menurutnya, survei ORI melibatkan 12.755 responden yang tersebar di 23 kabupaten/kota. Setiap daerah melibatkan sekitar 555 responden. Responden terdiri atas pengusaha, pejabat di kabupaten hingga kecamatan, tokoh masyarakat, pegawai negeri sipil, tentara, polisi, perangkat desa, pemuda, aktivis LSM, buruh, nelayan, dan petani.(sar)

Sumber :
http://serambinews.net/news/view/60251/konflik-pilkada-picu-keraguan-rakyat

Konflik Pilkada Buat Rakyat Terjebak

Tuesday, 05 July 2011 15:31
Warta, WASPADA ONLINE

BANDA ACEH - Konflik politik pilkada akhir-akhir ini ditengarai akan membuka celah publik pada posisi bimbang untuk menentukan pilihannya. Selain karena terjadinya kontradiksi antara harapan rakyat yang menghendaki pilkada berjalan damai, ruang konflik politik terkait regulasi pilkada juga melahirkan sikap pemilih yang mengambang dan cenderung apatis.

Analisis dosen ilmu politik Universitas Malikussaleh, Taufik Abdullah, mengatakan ekses konflik regulasi pilkada telah membentuk opini publik terhadap kemungkinan lain menentukan pilihan mereka kepada kandidat tertentu. Bahkan, kondisi tersebut juga membawa pada adanya satu situasi akan mempengaruhi image kandidat yang terlibat dalam pusaran konflik.

“Kondisi ini bisa berdampak pada pemilih tidak rasional lagi melihat sosok pemimpin yang akan mereka pilih. Ini bisa terjadi di berbagai tingkatan pemilih, termasuk pemilih pemula,” kata mageister jebolan Universitas Kebangsaan Malaysia itu, tadi sore.

Menurut Taufik, tidak hanya itu, konflik politik pilkada juga membuat rakyat terjebak pada keraguan dan tidak berani menentukan pilihannya. Sebab, yang diinginkan rakyat adalah kedamaian dan tidak ingin terjebak dalam konflik. Namun agak disesalkan, saat ini masih ada masyarakat yang memilih hanya karena faktor figur dan pencitraan.

Sementara itu, hasil survei menempatkan Wakil Gubernur Banda Aceh, Muhammad Nazar, sebagai calon gubernur yang mempunyai tingkat elektabilitas paling tinggi dibandingkan empat kandidat gubernur lainnya yang disurvei. “Dari hasil survei yang kita lakukan, Nazar merupakan figur yang paling banyak dipilih responden,” kata Direktur ORI, Maimun Lukman.

Menurutnya, survei ORI melibatkan 12.755 responden yang tersebar di 23 kabupaten dan kota. Setiap daerah melibatkan sekitar 555 responden. Responden terdiri atas pengusaha, pejabat di kabupaten hingga kecamatan, tokoh masyarakat, pegawai negeri sipil, tentara, polisi, perangkat desa, pemuda, aktivis LSM, buruh, nelayan, dan petani.

Editor: SUWANDI
(dat05/serambi)

F-DIPA: Idealnya Diselesaikan Melalui Konsensus

Jumat, 7 Oktober 2011 10:05 WIB, Serambi Indonesia

BANDA ACEH - Forum Demokrasi Indonesia dan Perdamaian Aceh (F-DIPA) berpendapat, idealnya konflik regulasi pilkada di Aceh diselesaikan melalui konsensus para pihak, yaitu Pemerintah Pusat, CMI, dan Pemerintah Aceh, serta elit kombatan GAM sebagai pihak yang mengikat perjanjian perdamaian enam tahun lalu. Langkah ini, perlu dilakukan demi menyelamatkan perdamaian dan pengembangan demokrasi lebih subtantif di masa depan.

“Melalui konsensus para pihak perlu penegasan kembali komitmen atau rekomitmen, bertujuan untuk membangun perdamaian seutuhnya berdasarkan perjanjian MoU Helsinki,” kata Koordinator Forum DIPA Taufik Abdullah, dalam siaran pers kepada Serambi Kamis (6/9) kemarin.

Dosen Ilmu Politik FISIP Unimal-Lhokseumawe ini berpendapat, rekomitmen menjadi krusial karena publik menilai implementasi MoU belum sempurna dijabarkan dalam UUPA, sebagai hukum primer (undang-undang dasar) penyelenggaran Pemerintah Aceh dalam bingkai NKRI.

Ditambahkan, jika tidak memungkinkan penyelesaian melalui konsensus para pihak, maka Pemerintah Pusat perlu menerbitkan keputusan resmi negara, yaitu perundangan-undangan dalam bentuk peraturan presiden (perpres). “Memaksa pilkada tanpa perhitungan matang, hanya akan melemahkan legitimasi politik pemerintah pusat. Pada akhirnya dapat berpotensi laten merebaknya konflik lebih kompleks, serta berpotensi hancurnya perdamaian dan demokrasi yang telah disepakati, dibina, dan dirawat selama ini,” demikian Taufik Abdullah.(nal)

Editor : bakri

F-DIPA: Konflik Regulasi Idealnya Diselesaikan Melalui Rekomitmen


Saturday, 08 October 2011 09:30
Written by I.I. Pangeran
The Atjeh Post - Koordinator Forum Demokrasi Indonesia dan Perdamaian Aceh atau F-DIPA, Taufik Abdullah, menilai idealnya konflik regulasi Pilkada Aceh diselesaikan melalui konsensus para pihak, yaitu Pemerintah Pusat, Crisis Management Initiative (CMI), dan Pemerintah Aceh. Eksekutif dan Legislatif Aceh terlibat sebagai referentasi masyarakat Aceh.

“Elite yang menandatangani MoU Helsinki enam tahun lalu juga masih hidup dan berkuasa. Memungkinkan sekali pertemuan tingkat tinggi dilaksanakan dan bisa diharapkan menghasilkan konsensus untuk penegasan kembali komitmen atau rekomitmen perdamaian dan pengembangan demokrasi lebih kongrit,” kata Taufik Abdullah dalam siaran pers yang diterima di Lhokseumawe, Jumat (7/10).

Taufik Abdullah mengemukakan itu menanggapi hasil pertemuan gubernur Aceh, Ketua DPRA, dan Ketua Komisi Independen Pemilihan Aceh, Ketua Komisi Pemilihan Umum, Kepala Kepolisian Daerah Aceh, Pangglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda dan pihak lain di Kementerian Dalam Negeri, kemarin.

Kalau para pihak menolak pertemuan tingkat tinggi, kata Taufik Abdullah, satu-satunya cara menunggu budi baik Presiden SBY. Sebagai referentasi Pemerintah Pusat keputusan tersebut pastinya menurut Taufik akan diterjemahkan dan disahkan dalam lembaran resmi negara, yaitu perundangan-undangan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) tentang pelaksanaan Pilkada Aceh dan Keputusan Presiden (Kepres) tentang pejabat sementara gubernur, bupati dan wali kota.

“Keputusan itu mesti memerhatikan akumulasi politik selama ini dan menimbang semua aspek secara menyeluruh sehingga logis dan rasional. Selain itu, komitmen dan sungguh-sungguh berpatron pada MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintah Aceh adalah prasyarat utama,” kata Taufik yang juga dosen ilmu politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh.

Mungkinkah MoU Helsinki Jilid II ?

Taufik Abdullah | Pemerhati Sosial Politik Aceh | Jum`at, 04 November 2011

Saran Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada Hasbi Abdullah Ketua DPRA agar menggugat MK tentu bukan tanpa logika. Secara positif Pak SBY sebenarnya ingin bertanggungjawab (Serambi Indonesia, 7/8/10/2011). Mengapa tidak, bersama Muhammad Yusuf Kalla, damai diretas dengan manis. Dengan susah payah Pak SBY (Menkopolkam) dan Pak JK (Menkokessos) menghentikan permusuhan antara Aceh dan Jakarta ketika itu.

Yang melatari keduanya meretas damai bukan pula tanpa alasan. Tinta emas dan sejarah tidak mungkin melupakannya, mengapa?  Karena keduanya tak patah arang (pesimis), tetapi penuh semangat (optimis) biarpun ketika itu “darurat militer” dan “darurat sipil” terpaksa ditabuh. Mereka tidak mengatakan Ibu Presiden Megawati seolah tumpul alternatif. Sebagai pembantu Presiden keduanya tidak berdusta tapi berpikir dan berusaha keras “mendamaikan Aceh untuk Indonesia”. Ketulusanlah yang melandasinya.

Dari sebuah ketulusan
Tapak tilas ini kiranya menyegarkan memori “aneuk nanggroe” yang kini terancam perang saudara. Dua sejoli SBY-JK ketika itu menyadari tanpa damai di Aceh maka Jakarta tetap  bermasalah. Kebijakan pemerintah melalui pendekatan militer bukan saja tidak populer tapi pada akhirnya akan melahirkan penentangan lebih besar. Operasi militer dengan berbagai sandi di masa orde baru terbukti tidak menyelesaikan masalah. Lantas, SBY-JK tak putus asa mengurai benang kusut itu.

Betapa tidak, nilai-nilai filosofis dan ideologis “mendamaikan Aceh untuk Indonesia”, menjadi keyakinan (terpatri kuat). Kita pantas mendaulatnya sebagai pemimpin patriotik dan reformis untuk Aceh. Bukan saja tampil sebagai pemimpin bangsa tetapi negarawan yang mengayomi. Bahkan berani mengambil langkah pasti disaat yang sulit. Dan, ketika terpilih sebagai pengendali dan nahkoda republik dibuktikan damai tidak terhenti dijalan buntu. Apalagi dibalik gempa dan tsunami terbitlah cahaya (hikmah). Cemoohan, rintangan dan tantangan tak membuat nyali keduanya kecut–malah menjadi mudah.

Olle Tornquist (2010) dkk, dalam risetnya menimbang sebagai nahkoda Pak SBY penuh kehati-hatian sementara Pak JK mengakomodasi kebijaksanaan bosnya dengan lugas dan cepat. Gaya (ritme) mereka berbeda tapi menyatu. Makanya duet SBY-Kalla populis. SBY tak menyerah dengan akal sehatnya sebab itu, ia menyarankan JK untuk tidak menunda perdamaian Aceh. Hanya karena pikiran jernih dan hati yang tulus damai dapat diwujudkan. Ini pula direnungi elit GAM untuk “pikir-pikir” berunding atau tidak. Kegagalan di Tokyo terus membayang. Ditambah trauma “Ikrar Lamteh 1957” tipuan ditimbang sampai berulang-ulang.

Sejarah memang jadi rujukan. Ia tidak harus diterjemahkan kelam. Sementara di depan ada cahaya yang terang. Faktanya, elit GAM juga tak kalah cepat dan lugas mengambil kesimpulan. Hakikat perjuangan Di Tiro bertujuan memartabatkan Indonesia. Gagasan Di Tiro (1958) “Demokrasi Untuk Indonesia” real objektif. Dalam bukunya itu ia mendesak “federalism”. Konsep nasionalisme-desentralistik menurutnya ketika itu Indonesia bisa sejahtera, makmur dan damai. Ketakutan disintegrasi idenya dikubur dalam-dalam. Matlamat ini direnungi oleh elit GAM. Diam-diam rupanya Pak JK menjalankan misi rahasia ke Aceh.

Begitulah, perdamaian Aceh mesti dimulai dengan otak dan hati yang tulus, ungkap Mahyuddin Mahmud Adan (2011). Konektor perdamaian ini menukilkannya dalam inmemorial; “Mendekap Damai Aceh, To See The Reality”, cukup inspiratif.  Diceritakan misi rahasia dijalankannya bersama dr. Farid Husain,  penuh resiko. Di bukit Paya Bakong mereka bertemu Muzakkir Manaf dan Sofyan Dawood. Jika saja para pimpinan GAM di lapangan tidak mampu diyakinkan dan menerima “Damai Helsinki” bukan saja nyawa mereka melayang tapi perundingan yang akan berlangsung di Finlandia bisa jadi gagal total.

Pra-kondisi persiapan “Piagam Helsinki” jelas berliku. Meyakinkan kelompok sipil yang terserak akibat darurat militer–bukan hal mudah. Banyak komponen rakyat dilibatkan walau diluar gelanggang. Tujuan  mulianya agar damai menjadi pilihan bersama. Selain pertemuan sipil di beberapa negara namun rombongan besar pertemuan sipil sempat menghebohkan Malaysia. Tokoh masyarakat, ulama, politisi, birokrat, akademisi,  pemerhati asing, baik individu maupun institusi, dan aktivisnya berembuk.

Awal yang sunyi
Kekhawatiran terhadap para aktivis progresif sebagai agen dan spirit utama perjuangan GAM  akan “menolak perdamaian” tak terbukti. Sayap sipil GAM pro-referendum untuk kemerdekaan akhirnya luluh juga. Suara lantang didepan rakyat berujung “hening cipta” dimeja runding. Semua itu demi memeluk erat perdamaian agar setetes darahpun tidak lagi tumpah. Ironisnya siapa paling berhak memimpin perdamaian jadi dilema. Semua merasa paling berjasa. Marwah pemimpin di internal elit GAM dipertaruhkan.

Satu sisi menimbang Aceh baru saja ditimpa musibah gempa dan tsunami disisi lain perdamaian dihadapkan prasangka. Muncul isu dari alam maya (internet) perdamaian tidak mendapat restu “wali negara”. Sementara faksi-faksi menjelang Pilkada 2006 digiring dalam kepanikan. Elit dituduh berpihak pada keluarga (trah) Di Tiro.

Walau sedikit oleng dan terguncang akhirnya Pemilukada 2006 ditengah gemuruh rehab-rekon diklaim dunia paling sukses dan unik. Namun dalam perjalanannya muntah-muntah juga. Beban, muatan dan penumpang yang nakal satu sebab. Lainnya karena terbebani oleh kapasitas, misi dan agenda perubahan-berdesakkan.

Akibatnya ada yang sakit-sakitan alias pusing-pusing karena “kernet” selalu interupsi. Pak “supir” dengan berat hati berhenti. Maklum ada yang pipis, mules, mencret dan buang air besar (berak). Mungkin juga minta berhenti tanpa alasan yang jelas. Dimaklumi bus tidak bisa melaju kencang. Ada penumpang turun karena ogah ribut-ribut. Boleh jadi karena “cakap tak serupa bikin” sebuah manifesto dr. Mahathir merevolusi mental bangsanya agar tidak menyerah dan pasrah.

Katanya, jika elit politik, aparatur birokrasi dan rakyatnya bersungguh-sungguh negara akan berjaya. Syaratnya, “kata” dan “perbuatan” mesti seirama. Pemerintah Aceh bukan tidak berhasil. Ia berjalan sesuai alamnya (nature). Sinar-nya mulai menyengat manakala reformasi birokrasi setengah hati dibina. Ketika politik jadi panglima maka tak rela munculnya poros utama.

Pada arasnya memang bergeser. Konsistensi mengawal perdamaian jadi rebutan antara “kernet” dan “supir”. Antara siapa yang ingin menyetir dan tetap menyetir bersaing karena gengsi dan sekaligus keras kepala jadi satu. Disaat yang sama harapan baru tertumpu kepada Partai Aceh. Relasi eksekutif-legislatif  dibelai ketika pundi-pundi emas, tembaga dan perak membelalak di depan mata. Namun ketika ketulusan dan kepentingan diuji maka logikalah yang bicara.

Ironis memang. Kekuasaan seringkali inkonsistensi dengan idealisme. Apalagi kekuasaan dinobatkan sebagai tahta. Kekhusussan dan kewenangan Aceh tidak dianggap mahkota berharga. Malahan rentak “tari seudati” eksekutif dan legislatif dibungkus “politik anggaran”. Anehnya ketika periuk pecah perubahan tak kunjung tiba dipintu-pintu rumah rakyat jelata. Teriakan aktivis “anti korupsi” malahan rekening pejabat tambah membengkak.

Agar laba perdamaian tidak berubah menjadi murka maka kemenangan dan perubahan disulap nyata. Lalu, mata, telinga, paru-paru, jantung dan seringnya masyarakat batuk-batuk, demam  dan sakit kepala (jiwa) karena kemiskinannya ditebus dengan obat-obatan gratis. Inilah berkah pemimpin rakyat. Masyarakat tak munafik mengucapkan Alhamdulillah.

Mesti begitu, sejak pagi menjelma “sinar mentari” memang terik dan menyegat. Naturenya karena perut bumi lama menyimpan minyak dan gas–ditambah sengketa warisan endatunya tak langsung suami-isteri merajut keharmonisannya. Yang aneh dipinggir laut tambak-tambak ikan kekeringan. Hujan didarat rakyat gelisah. Genangan air dan banjir jadi lumrah. Ini karena hutan gundul ladang jadi terlantar. Petani meronta-ronta karena pupuk langka ditambah harga disandera tengkulak (penyamun).

Sayangnya legitimasi perdamaian dihempas angin, arus dan gelombang samudera. Tak heran UUPA, produk akademisi, ulama, para tokoh dan cendikiawan, termasuk aktivis yang ikut membuahinya, tanpa malu dijadikan selingkuhan baru. Publik menduga ada skenario (tokoh) dibalik penjara ini. Petirpun berubah jadi konflik regulasi.

Gemuruhkah atau cinta
Singkat cerita, Desember 2010 MK sepertinya mengetuk palu tepat dibatok kepala “Partai Aceh”. Pro-kontra, intriks, koalisi, dialog dan aksi mencari solusi bukan saja mencerahkan tapi juga menyiksa batin. Jika aktor-aktornya bergerak hanya karena prasangka, kecewa, pragmatisme, pengaruh modal dan transaksi serta nafsu kekuasaan maka misi PA membuktikan dirinya bukan atas logika itu. Kekuasaan penting tapi lebih utama bagaimana menengakkan konstitusi sebagaimana disepakati-mesti dijalankan sejujur-jujurnya. Sejak awal PA tidak mencegat MK karena yakin tidak mungkin ditipu kembali, mengapa ? 

Bagi PA, UUPA adalah undang-undang dasar (hukum primer), yang lahir dari rahim MoU Helsinki (konsensus politik), lebih kuat mengikatnya. Berbeda dengan “Ikrar Lamteh” maka sesungguhnya “MoU Helsinki” adalah rekomitmen nasionalisme. Inilah identitas politik Aceh dalam sistem politik Indonesia diharapkan tidak diobok-obok. Tak heran dengan santai JK menyindir MK tak paham soal Aceh (atjehpost, 12/08/2011). Sikap SBY yang mendua dengan mempersilakan DPRA menggugat MK pasca gagalnya kesepakatan bukan tanpa alasan (Serambi Indonesia, 7/8/10/2001).

Sama dengan JK satu sisi memahami keputusan MK salah kaprah namun disisi lain Partai Demokrat–pada detik-detik terakhir mengukuhkan Nazar-Nova untuk berlaga (Harian Aceh, 08/10/2011). SBY tau betul presentase suara untuknya pada Pilres lalu rangking pertama seluruh Indonesia. Karena itu ia tidak ingin mempertontonkan egoisme-sekaligus menjaga perasaan Pak JK, yang kesannya dipinggirkan rakyat Aceh, tapi memilihnya. 

Sisi lainnya, SBY ingin menguji sikap DPR-RI (terutama partai koalisinya) yang hanya jago kritik. Beban ingin dibagi bersama. Barangkali, prinsip kehati-hatian atau kebijaksanaan, membuat SBY berbelah bagi. Politik akomodasi memang cirinya. Sehingga tidak sepi dari nyanyian “rayuan pulau kelapa”.  Jika demikian, akankah romantika dan kesyahduan konflik regulasi akan  berakhir dari gemuruh berubah menjadi cinta?

Kembalilah, pada ketulusan sebagaimana enam tahun lalu.  Barangkali, ketika kita memberikan hati dan otak dengan jujur pastinya itu bisa. Begitulah Abuwa (panggilan untuk Pak Mahyuddin) menitip pesannya. Politik membuka semua kemungkinan jika tiada dusta diantara sesama anak bangsa-begitu tamsil Hasballah M. Saad (Alm). Jadi, siapa bilang Helsinki bukanlah jalan kedua? Ia mungkin saja jalan lama ketika onak dan duri bertaburan dengki serta fitnah dirantai dimana-mana.

Pasti. Indah kerdipan lampu “merkuri” dalam malam penuh ketegangan di kota tua itu, masih terkenang-kenang. Ibarat sepasang kekasih mengikat janji akan hidup bersama, setia dan sehati, bahkan bersumpah rela mati demi sebuah cinta. Karena cinta setiap kita tidak pernah berhenti. Dilorong kecil dan gelap ia melangkah. Demi cinta saja tak cukup. Setiap asa pasti menuju kematiannya (sunnatullah). Dengan rela dalam bara revolusi ia berkata “kedaulatan cinta” ada dihati dan akal kita. Itulah manusia. Ujung-ujungnya seringkali akal  dikalahkan oleh nafsu. Bersujudlah, dalam batin yang bergolak, demi cinta maaf selalu ada, disini, dan juga disana.