Jumat, 30 Desember 2011

Keputusan DPRA Tolak Calon Perseorangan Legitimet

Lhokseumawe | Harian Aceh – Kepala Laboratorium Ilmu Politik FISIP Unimal Lhokseumawe Taufik Abdullah menilai keputusan DPRA menolak calon perseorangan, legitimet.

Keputusan DPRA mensahkan Qanun Pilkada tanpa calon perseorangan, saya pikir logis, kata Taufik Abdullah dalam bincang-bincang dengan Harian Aceh di Lhokseumawe, Kamis (30/6).

Menurut Taufik, implikasi politisnya jelas ada. Pertama, publik mendapatkan kepastian politik. Kedua, benturan kepentingan politik juga semakin jelas dan nyata. Dalam situasi itu dampak positifnya, kata dia, masyarakat akan semakin rasional memilah-milah motif pilihan politik elit dan kepentingan-kepentingannya. “Ketiga, barangkali keputusan itu sudah dipertimbangkan untung-ruginya—baik untuk PA (Partai Aceh) maupun kepentingan rakyat Aceh, katanya.

Taufik menyebutkan, keputusan itu begitu sulit dan dilematis. Ia menilai hal itu bukan sebagai keputusan yang cengeng, sentimental dan emosional. Keputusan tersebut, menurut Taufik, sah-sah saja sebagai kehendak politik dari berbagai perkembangan dan akumulasi politik selama ini. Artinya, kata dia, Partai Aceh sebagai satu di antara banyak pilar penting perwujudan damai seolah ingin mengatakan kepada semua pihak bahwa mereka masih serius membela perdamaian.

Barangkali juga, lanjut Taufik, keputusan itu sebagai upaya mengetuk hati masyarakat dan para pihak yang dulu telah merintis, menerima dan membela perdamaian ini” yang mungkin kini dirasakan komitmen itu tidak seperti dulu. Dan, tentunya apa yang diputuskan, saya pikir Partai Aceh telah meletakkan logika perdamaian di atas segala-galanya. Jangan lupa, perdamaian yang telah disepakati itu harganya sangat mahal, kata mantan aktivis mahasiswa ini.

Ditanya apa konsekuensi meminggirkan keputusan Mahkamah Konstitusi, Taufik mengatakan, kalau Partai Aceh menerima begitu saja keputusan MK tentu partai kombatan ini akan kehilangan eksistensi, terkesan tidak membela marwah dan martabat perdamaian yang telah mereka sepakati sendiri lima tahun lalu.

Atau jangan-jangan PA takut dikalahkan dalam Pilkada 2011? Taufik menyebutkan, Logikanya bukan PA takut kalah dalam Pilkada. Tetapi, mereka ingin mempertegas komitmen agar perdamaian tetap berada pada koridor yang benar.

Di sisi lain, menurut Taufik, keputusan itu sebagai bentuk penegasan agar publik mampu mendefinisikan dan memposisikan artikulasi peran partai. Penolakan itu, kata dia, sebagai bukti PA berkomitmen mengawal dan menyempurnakan perdamaian. Kata Taufik, sebagai lembaga politik, PA itu legal dan dijamin oleh konstitusi, yang kebetulan diisi kombatan di dalamnya.

Terkait ada sebagian pihak masih meragukan kemampuan PA karena faktor tersebut, terkesan membela Taufik mengatakan, Saya pikir mereka adalah representasi yang tidak hanya menjadi jembatan kepentingan rakyat Aceh, tapi juga bagaimana mereka tidak lagi menampar muka Indonesia. Saya pikir inilah hakikat damai dirajut lima tahun lalu. Kalau damai ini hancur-hancuran, ke depan PA harus diminta pertanggungjawabannya lebih kongrit.

Taufik menegaskan, kesepakatan telah diikat dalam konstitusi MoU Helsinki dan UUPA sebagai formulasi politik yang saling menjaga eksistensi. Karena itu, kata dia, logika yang diartikulasikan semestinya berdasarkan produk hukum tersebut. MoU dan UUPA merupakan kesepakatan hukum yang diintegrasikan sebagai konsensus politik yang mengikat.

Lalu, apakah penolakan calon perseorangan bentuk perlawanan baru rakyat Aceh kepada Jakarta? Taufik terdiam sejenak. Kemudian ia mengatakan, keputusan MK agaknya kontra-produktif dengan roh perdamaian. Ini mungkin tidak mudah diterima teman-teman dari kalangan civil society, kata dia, yang telah susah payah memperjuangkan calon perseorangan. Bagi saya perjuangan calon perseorangan bukan saja telah memicu situasi politik semakin chauvinistic dan antagonistic, namun juga mencerdaskan. Semua, akhirnya terjaga, lho kok begini ya, katanya.

Masalahnya, bagaimana kalau KIP ngotot dengan tahapan yang telah dibuat? Di sinilah masalahnya, menurut Taufik jadi simalakama. KIP seolah-olah menjadi rebutan, target dan korban produk hukum. KIP, kata dia, mestinya bertanya pada diri sendiri, apakah mereka menimbang kepentingan elit atau kepentingan rakyat, khususnya kepentingan Aceh.

Lantas bagaimana dengan sikap legislatif yang juga sepertinya ngotot menolak calon perseorangan? Saya pikir keputusan DPRA tidak dinilai sebagai wujud politik otoritarianisme, tentu tidak demikian. Perdamaian ini saya pikir harus dipimpin. Karena itu, penolakan terhadap keputusan MK oleh Partai Aceh sangat manusiawi untuk melegitimasi cita-cita damai semakin membumi, kata Taufik.

Taufik berharap semua pihak terutama rakyat Aceh tidak bersitegang pada hal-hal yang tidak prinsipil. Menjadi krusial, kata dia, ketika esensi, subtansi dan hakikat damai saling diruntuhkan oleh sesama bangsa sendiri oleh ambisi ingin mendapat dan mempertahankan kekuasaan semata. Kiranya elit dan semua pihak tidak meruntuhkan apa yang telah dimiliki. Yang telah ada, katanya, perlu diperkuat untuk Aceh adil, maju, makmur dan bermartabat.

Pemangku kebijakan, elit politik dan komponen masyarakat perlu berdialog dan bermusyawarah, jangan sampai keinginan untuk berkuasa lalu Aceh dikalahkan oleh perilaku politik kita sendiri. Kiranya semua pihak diberi hidayah agar meletakkan logika, membina dan merawat perdamaian dengan penuh kesadaran dan moral yang tinggi. Semoga pada Pilkada 2011 ini bukan awal konflik baru, tapi menjadi momentum perbaikan dan perubahan yang lebih monumental, katanya.

Di sisi lain Taufik mempersoalkan komitmen Pemerintah Pusat. Lihat saja, kata dia, aturan pelaksana UUPA sejauh ini belum direspon sepenuhnya oleh Pemerintah Pusat. Padahal, katanya, regulasi berupa PP (Peraturan Pemerintah) dan Peraturan Presiden (Perpres) sebagai payung hukum implementasi UUPA sangat penting agar eksistensi perdamaian lebih legitimet.

Benturan ini saya pikir satu sebab di antara banyak sebab lain yang membuat Legislatif Aceh tidak bisa menyelesaikan qanun-qanun ke-khusus-an atau keistimewaan Aceh dengan sempurna. Partai-partai nasional dan juga DPD asal Aceh, semestinya mengkonsolidasikan penyempurnaan UUPA. Mereka sebagai pilar-pilar demokrasi dan perdamaian juga belum berjalan efektif, katanya.nsy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar