Sabtu, 31 Desember 2011

Eksistensi Politisi Perempuan Aceh Diragukan


HMINEWS, 17 Desember 2011
Lhokseumawe – Aceh butuh politisi perempuan yang handal untuk merubah wajah Aceh baru pasca konflik. Demikian Taufik Abdullah Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Malikussaleh menyatakan pandangannya pada seminar memperingati Hari Perempuan dan HAM se-dunia di Aula Pemko Lhokseumawe (12/12/2011), yang lalu.

Kiprah perempuan Aceh telah banyak berubah. Kalangan perempuan terdidik telah menang dari transisi domestik ke wilayah publik namun butuh perjuangan maksimal pada ranah politik. Tanpa itu sulit merubah nasib dan pembelaan hak-hak perempuan secara menyeluruh kata taufik.

Seminar yang digelar oleh Forum Komunikasi Masyarakat Sipil (FKMS) Lhokseumawe & Aceh Utara, yang didalamnya terdiri lebih dari 30 LMS/Ormas itu mengusung tema “Pelayanan publik dan pembelaan hak-hak masyarakat, khususnya perempuan”.  Ketua Pelaksana Hasni menyatakan berbagai ketidakadilan masih dihadapi perempuan karena kurang mendapat perhatian publik. Dikriminasi dibasis komunitas, pelecehan publik dan human trafficking masih sering terjadi. Banyak kasus trafficking woman sekarang ini marak di Aceh. Ini perlu dibongkar kata hasni dalam sambutannya.

Taufik Abdullah mengakui masih banyak ketidakadilan dirasakan perempuan tidak hanya dalam konteks lokal namun juga ditingkat nasional. Biarpun peran aktivis perempuan telah banyak melakukan perubahan dan pembelaan hak-hak perempuan diberbagai strata sosial. Namun dinilai selain tidak fokus juga inkonsisten dalam pendampingan dan disisi lain menafikan ranah politik. Pembangunan berbasis gender tidak mungkin terlaksana dengan baik jika perempuan tidak mau berjuang melalui parlemen. Menurut taufik berbagai qanun (perundang-undangan) yang dihasilkan banyak tidak sensitif gender.

Lanjutnya, dalam banyak hal perempuan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan.  Posisi strategis dalam birokrasi juga masih minim. Yang paling tragisnya kata taufik pada ranah politik,  perilaku diskriminatif, marginalisasi, subordinat dan stereotype masih berlangsung. Budaya patriakhi masih membelunggu sehingga peran perempuan di ranah politik belum membanggakan. Pada level lokal di Aceh dan nasional menurut taufik perjuangan perempuan di ranah politik butuh perjuangan lebih keras lagi.

Ditegaskannya, eksistensi politik perempuan dalam berbagai strata sosial maupun struktural pemerintahan memang cukup mewarnai. Tentu tidak dilihat seberapa banyak bekerja disektor itu. Tetapi, seberapa mampu perempuan mengubah budaya patriakhi ketus taufik. Secara terselubung dan kultural peran perempuan diranah politik masih di stigma negatif. Berbagai keadaan yang membelenggu dari transisi domestik ke transaksi publik tidak berdiri sendiri, demikian juga pada ranah politik. Jujur saja sepertinya perempuan tidak dibiarkan membiak, berkembang dan tubuh dalam aras politik. Legitimasi yuridis tidak paralel dalam prakteknya.

Diakui atau tidak,  politisi perempuan diposisikan ancaman pada ranah politik. Ini agenda besar kalangan aktivis perempuan untuk merubahnya kata taufik. Lagi pula akhir-akhir ini kepercayaan terhadap politisi perempuan menurun oleh berbagai kasus yang menghimpit. Sebut saja di level nasional, kasus yang menimpa politisi Wa Ode Nurhayati, Anggelina Sondakh, juga kasus karupsi yang melilit Nunun dan Miranda Gultom, sepertinya dibesar-besarkan agar citra perempuan di ranah publik anjlok. Kalaupun itu benar, tidak semestinya menyurutkan nyali aktivis berkiprah dan masuk partai.  Mereka harus lebih mampu tampil sebagai sosok yang berintegritas dan bermoral tinggi demi terbelanya hak-hak perempuan.

Dalam konteks Aceh taufik juga menilai satu ironi keterwakilan perempuan di parlemen kian menurun. Pada periode lalu 11% keterwakilan perempuan di parlemen sementara periode ini tersisa 8,6%, yang boleh jadi ke depan hanya tinggal kenangan. Ke depan, kehadiran perempuan di parlemen sangat dibutuhkan memoralkan system politik. Mengapa tidak, dimasa konflik perempuan menjadi korban. Berbagai perlakuan tidak adil diterimanya. Banyak sekali jeritan mereka tidak tertampung dengan baik selama ini.

Karena itu, taufik berpandangan nasib perempuan akan berubah jika aktivisnya konsisten merebut posisi pada ranah politik, masuk partai politik dan berjuang melalui parlemen. Jika tidak demikian maka keadilan dan pembelaan hak-hak perempuan semakin jauh dari harapan.  Disarankan agar aktivis perempuan tidak hanya memanfaatkan berbagai funding dari pihak-pihak yang respek terhadap nasib perempuan. Buat apa memberdayakan ruang privat (emosi) dan membentuk simpul-simpul gerakan pemberdayaan perempuan dengan berbagai program agar berperan diranah publik jika pada akhirnya suara mereka disabotase politisi laki-laki.

Jadi, aktivis perempuan saatnya lebih fokus, berjuang keras masuk partai dan menyuarakan nasib perempuan melalui legislatif, demikian taufik menegaskan. Disisi lain, sulitnya perempuan Aceh berjuang di ranah politik dewasa ini karena tidak ada ikon (ketokohan) yang mampu mengayomi ujar Alfian (Aktivis LSM) menggugat narasumber pada seminar itu. Taufik tidak menapik hal itu. Katanya lagi, sistem kepartaian kita belum sehat satu sisi ditambah budaya patriakhi yang mengurita serta stigma politik miliknya laki-laki menjadi tantangan berat bagi politisi perempuan”. Tak heran katanya koata 30% keterwakilan perempuan di parlemen sulit di penuhi.

Pada pemilu ke depan partai politik perlu diawasi agar dapat menjalankan undang-undang dengan benar. Perlu ada sangsi kepada partai politik. Seringkali kali menjelang pemilu kepengurusan perempuan asal comot saja. Lalu dijadikan asesoris yang dipajang dipapan struktur organisasi atau menjadi pelengkap dalam sk kepengurusan. Padahal yang dibutuhkan sejak dari proses rekruetmen, kaderisasi, penyiapan caleg sampai benar-benar jadi legislator. Hal ini tidak dilakukan kata taufik.

Jika serius, dari sekarang menurut taufik partai politik menyiapkan dan merekruet kader potensial yang bukan hanya ditopang oleh tampang tapi juga kapasitas dan moralitas. Partai dari sekarang membina kader politisi perempuan agar partai bisa tampil sebagai pencerah dan pemberi cahaya  ditengah kejumudan politik dan tantangan keberlanjutan perdamaian Aceh. Saya yakin perempuan bisa menampilkan wajah baru dan warna lain dalam aras politik. Persoalannya kita belum serius untuk itu, termasuk aktivis perempuan sendiri, ketus taufik agak emosi.

Diakui taufik saat ini Aceh krisis politisi perempuan. Berbeda tempo dulu ada ketokohan yang mempersatukan. Dulu perempuan mampu memimpin pemerintahan dan politik di Kerajaan Aceh, diantaranya Putri Lindung Bulan, Putroe Phang, Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu, Ratu Safiatuddin, Ratu Naqiatuddin, Ratu Zakiatuddin, dan Ratu Kamalat Syah. Saat menghadapi penjajah perempuan juga tampil sebagai pemimpin perang. Ketokohan perempuan mampu mengendalikan operasi penyerangan baik di darat maupun di laut, diantaranya Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dhien, Fakinah, Cut Meutia, Pocut Meurah Intan, dan Pocut Baren.

Aceh tempo dulu memiliki sistem politik, hukum dan tatakelola pemerintahan terbaik di nusantara—tentu tidak lepas dari tangan halus perempuan. Trias politica sudah diperkenalkan di Aceh sebelum Monstique memperkenalkannya di Eropa. Balai Majelis Rakyat dibentuk sebagai kekuasaan legislatif yang langsung dipimpin oleh  Putroe Phang. Banyak qanun (perundang-undangan) dilahirkan dan dicontohi kerajaan-kerajaan lain di nusantara. Sepertinya kita tidak belajar pada masa lalu kata taufik dihadapan peserta seminar. Bahkan kini kita sering mendengar labelisasi politisi perempuan sebagai ineung cantoi, tidak ada kerjaan, dan sensasional.

Juru Bicara FKMS Safwani, dalam sesi tanya jawab memandang apa yang dikemukan narasumber ada benarnya. Namun banyak hal dibasis komunitas perlu pendampingan terus-menerus, termasuk penyadaran politik. Problematika yang dihadapi perempuan sepertinya terus bermunculan seiring lajunya modernisasi kata safwani. Ikut pula menyampaikan presentasi pada seminar ini Kepala Humas Pemko Lhokseumawe Masduki SH dan aktivis LBH Pos Lhokseumawe Zulfikar SH, yang mengakui banyak persoalan publik terutama pembelaan hak-hak perempuan masih butuh perhatian serius.  Jika menulusuri pinggiran kota yang dulu cukup dikenal penghasil gas dan pencetak dolar untuk Indonesia itu—nyatanya memang perempuan di kota ini masih tertinggal. [] lara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar